HADISTS JIHAD KECIL KE JIHAD BESAR, PALSUKAH HADITS INI?
Derajat Hadits Itu
Didalam sebuah hadits Rasulullah mengatakan bahwa “Kami telah kembali dari
jihad yang paling kecil menuju jihad yang paling besar.”
Syeikh Al Albani didalam “as Silisilah adh Dha’ifah wa al Maudhu’ah” (5/478)
mengatakan bahwa hadits itu adalah hadits munkar.
Al Hafizh al ‘Iraqi didalam “Takhrij al Ihyaa” (2/6) mengatakan bahwa hadits
itu diriwayatkan oleh al Baihaqi didalam ‘Az Zuhd” dari hadits Jabir dan dia
mengatakan bahwa didalamnya terdapat kelemahan.
Al Hafizh Ibnu Hajar didalam “Takhrij al Kasyaf” (4/114 No. 33) : setelah
menceritakan perkataan al Baihaqi mengatakan bahwa ia adalah riwayat dari Isa
bin Ibrahim dari Yahya bin Ya’la dari Laits bin Abi Salim dan ketiganya
termasuk orang-orang lemah. An Nasai juga mencantumkan hal ini didalam “al
Kunna” dari perkataan Ibrahim bin Abi Ablah, salah seorang tabi’in dari
penduduk Syam.
Al Albani juga mencantumkan pendapat as Suyuthi didalam “ad Durar” (hal 170)
bahwa al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan didalam “Tasdid al Qous” bahwa hadits itu
sering diucapkan dan ia adalah dari perkataan Ibrahim bin Abi Ablah di dalam
kitab “al Kunna” miliki An Nasa’i.
Asy Syeikh Zakaria al Anshari dalam catatannya terhadap “Tafsir ath Thabari”
(1/110) dari Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,”Hadits itu tidak memiki
dasar” yang dikuatkan olehnya.
Didalam kesempatan yang lain (1/202) beliau mengatakan bahwa hadits itu
diriwayatkan oleh al Baihaqi dan sanadnya lemah. Dan yang lainnya
mengatakan,”hadits itu tidak ada sandarannya.”
Adapun perkataan al Khafaji didalam catatan pinggirnya terhadap al Baidhawi
(3/316) mengatakan,”didalam sanadnya lemah….”
Hadits itu tidaklah lurus karena tampak lahiriyahnya baik, bagaimana mungkin
padahal didalam sanadnya terdapat tiga orang yang lemah. Dan orang-orang yang
berbicara tentang itu telah bersepakat dengan kelemahannya?! (As Silsilah adh
Dha’ifah juz V hal 459)
Apakah Jihad Yang Paling Besar?
Adapun jihad yang paling besar adalah jihad melawan orang-orang kafir
seperti yang dikatakan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah,”Adapun hadits yang
diriwayatkan oleh sebagian orang bahwa beliau saw mengatakan saat peperangan
tabuk,”Kami kembali dari jihad yang paling kecil menuju jihad yang paling
besar” adalah tidak berdasar dan tidak seorang pun yang dikenal meriwayatkan
itu dari perkataan maupun perbuatan Nabi saw.”
Syikhul Islam juga mengatakan bahwa jihad melawan orang-orang kafir adalah
amal yang paling besar bahkan hal itu adalah yang paling afdhal (utama) yang
dianjurkan kepada manusia, firman Allah swt :
Artinya : “Tidaklah sama antara orang yang beriman yang duduk (yang tidak
turut berperang) tanpa mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di
jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang
berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut
berperang tanpa halangan). Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (pahala)
yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang
yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. An Nisaa : 95)
Artinya : “Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang
mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka
tidak sama di sisi Allah. Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang
zhalim.” (QS. At Taubah : 19)
Syeikhul Islam juga mencantumkan hadits didalam ash Shahihain yang
diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud berkata,”Aku bertanya,’Wahai Rasulullah
amal apakah yang paling utama di sisi Allah?’ Beliau saw menjawab,’shalat pada
waktunya.’ Aku bertanya,’kemudian apa?’ beliau saw menjawab,berbuat baik kepada
kedua orang tua.” Aku bertanya,’kemudian apa?’ beliau saw menjawab,’’berjihad
di jalan Allah.”
Didalam Ash Shahihain juga disebutkan sabda Rasulullah saw saat ditanya
tentang amal yang paling utama? Beliau saw menjawab,”Beriman kepada Allah dan
berjihad dijalan-Nya.’ Beliau ditanya lagi,’kemudian apa.’ Beliau saw
menjawab,’haji yang mabrur.” (Majmu al Fatawa, juz XI hal 198 – 199)