“Barangsiapa mengada-adakan hal baru di dalam perkara
kami yang tidak ada dalil didalamnya, maka tertolak” (HR. Bukhari dan
Muslim)
“Barangsiapa mengerjakan apa-apa tanpa adanya perintah
dari kami, maka perbuatannya itu tertolak” (HR. Muslim)
“Hendaknya kalian semua mengikuti sunnahku dan sunnah
khulafa ar Rasyidin yang berpetunjuk setelahku. Berpegang teguhlah kepadanya
dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru,
karena semua perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hadits-hadits yang semakna dengan hadits-hadits ini jumlahnya
sangatlah banyak. Dalam bahasa arab, bid’ah berarti segala perkara
baru yang tiada contoh sebelumnya. Namun bila tidak terjadi dalam
perkara ibadah maka tidak dinamakan bid’ah. Jika terjadi dalam berbagai macam
muamalat dan sejalan dengan syariat, maka hal itu dianggap sebagai sesuatu yang
syar’i.Sedangkan yang bertentangan dengannya, maka dianggap sebagai sesuatu
yang ‘rusak’. (Syaikh bin Baaz, Majmu’ Fatawa)
Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan
sesuatu tanpa ada contoh.Sebelumnya Allah berfirman.
Badiiu’ as-samaawaati wal ardli
Artinya : “Allah pencipta langit dan bumi”
[Al-Baqarah : 117]
Maknannya adalah Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh
sebelumnya.
Juga firman Allah.
Qul maa kuntu bid’an min ar-rusuli
Artinya : “Katakanlah : ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul”. [Al-Ahqaf : 9].
Maksudnya adalah : Aku bukanlah orang yang pertama kali
datang dengan risalah ini dari Allah Ta’ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah
banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.
Dan dikatakan juga : “Fulan mengada-adakan bid’ah”,
maksudnya : memulai satu cara yang belum ada sebelumnya.
- Perbuatan bid’ah itu ada dua bagian :
[1] Perbuatan bid’ah dalam adat istiadat (kebiasaan)
; seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk
didalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macamnya). Ini
adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan)
adalah mubah.
[2] Perbuatan bid’ah di dalam Ad-Dien (Islam) hukumnya
haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah)
; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya :
Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan
kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak
diterima)”. Dan di dalam riwayat lain disebutkan : “Artinya : Barangsiapa yang
berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di
tolak”.
Bid'ah kah Motor?? : “Dikit-dikit bid’ah,
dikit-dikit bid’ah,” “apa semua yang ada sekarang itu bid’ah?!” “kalau memang
maulidan bid’ah, kenapa kamu naik motor, itukan juga bid’ah.”
- Macam-Macam Bid’ah
Bid’ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :
[1] Bid’ah qauliyah ‘itiqadiyah : Bid’ah perkataan yang
keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu’tazilah, dan
Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus
keyakinan-keyakinan mereka.
[2] Bid’ah fil ibadah : Bid’ah dalam ibadah : seperti
beribadah kepada Allah dengan apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah : dan
bid’ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :
[a]. Bid’ah yang berhubungan dengan pokok-pokok
ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam
syari’at Allah Ta’ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari’atkan,
shiyam yang tidak disyari’atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak
disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran dan lain sebagainya.
[b]. Bid’ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap
ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat
Dhuhur atau shalat Ashar.
[c]. Bid’ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan
ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari’atkan seperti
membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama’ah dan suara yang
keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai
keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
[d]. Bid’ah yang bentuknya menghususkan suatu ibadah
yang disari’atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari’at yang ada. Seperti
menghususkan hari dan malam nisfu Sya’ban (tanggal 15 bulan Sya’ban) untuk
shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di
syari’atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan
suatu dalil.
- Hukum Bid’ah Dalam Ad-Dien
Segala bentuk bid’ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan
sesat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Artinya : “Janganlah kamu sekalian mengada-adakan
urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah
bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan
At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].
Dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Artinya : “Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang
bukan dari kami maka perbuatannya tertolak”.
Dan dalam riwayat lain disebutkan :
Artinya : “Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak
didasari oleh urusan kami maka amalannya tertolak”.
Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang
diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
sesat dan tertolak.
Artinya bahwa bid’ah di dalam ibadah dan aqidah itu
hukumnya haram.
Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk
bid’ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir
(kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri
kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada
kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada
mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid’ah seperti bid’ahnya
perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan
Mu’tazilah.
Ada
juga bid’ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun
bangunan di atas kubur, shalat berdo’a disisinya.
Ada
juga bid’ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid’ah
Khawarij, Qadariyah dan Murji’ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid’ah yang merupakan maksiat seperti
bid’ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti shiyam dengan berdiri di terik matahari,
juga memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima’
(bersetubuh).
Bid’ahkah Motor?: “Dikit-dikit bid’ah, dikit-dikit
bid’ah,” “apa semua yang ada sekarang itu bid’ah?!” “kalau memang maulidan
bid’ah, kenapa kamu naik motor, itukan juga bid’ah.”
Catatan :
Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Artinya :”Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat”.
Orang yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah syayyiah (jelek) adalah salah dan menyelesihi sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Artinya :”Sesungguhnya setiap bentuk bid’ah adalah sesat”.
Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menghukumi semua bentuk bid’ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi
bid’ah) mengatakan tidak setiap bid’ah itu sesat, tapi ada bid’ah yang baik !
Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya “Syarh
Arba’in” mengenai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap
bid’ah adalah sesat”, merupakan (perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak ada
sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar
Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya : “Artinya : Barangsiapa mengadakan hal
baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak”. Jadi setiap orang
yang mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak
ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam
berlepas diri darinya ; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau
perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin.
Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka
katakan bahwa bid’ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar
Radhiyallahu ‘anhu pada shalat Tarawih :“Sebaik-baik bid’ah adalah
ini”, juga mereka berkata : “Sesungguhnya telah ada hal-hal baru
(pada Islam ini)”, yang tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti
mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan
penyusunannya”.
Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya
masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari’at, jadi bukan diada-adakan. Dan
ucapan Umar Radhiyallahu ‘anhu : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, maksudnya
adalah bid’ah menurut bahasa dan bukan bid’ah menurut syariat. Apa saja yang
ada dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan “itu bid’ah”
maksudnya adalah bid’ah menurut arti bahasa bukan menurut syari’at, karena
bid’ah menurut syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya.
Dan pengumpulan Al-Qur’an dalam satu kitab, ada rujukannya
dalam syariat karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan
penulisan Al-Qur’an, tapi penulisannya masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan
oleh para sahabat Radhiyallahu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf)
untuk menjaga keutuhannya.
Juga shalat Tarawih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah shalat secara berjama’ah bersama para sahabat beberapa malam,
lalu pada akhirnya tidak bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan
sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok
di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat
beliau sampai sahabat Umar Radhiyallahu ‘anhu menjadikan mereka satu jama’ah di
belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan
hal ini bukan merupakan bid’ah dalam Ad-Dien.
Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam
syariat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk
menulis sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada
beliau dan yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam secara umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan
Al-Qur’an. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat,
hilanglah kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur’an sudah sempurna dan telah
disesuaikan sebelum wafat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka
setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tidak hilang ;
semoga Allah Ta’ala memberi balasan yang baik kepada mereka semua, karena
mereka telah menjaga kitab Allah dan Sunnah Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wa
sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah perbuatan orang-orang
yang selalu tidak bertanggung jawab.
_____________________________
Disalin dari buku Al-Wala
& Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi oleh Orang
Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan