Bencana, Fitnahkah atau 'Azab ?
Kecenderungan selama ini memandang fitnah(ujian) sebagai bencana dan bencana itu identik dengan kedurhakaan(kekufuran), perlu ditinjau kembali. Dari kaca mata ajaran Islam, ternyata ujian tidak hanya identik dengan kekufuran dan malah lebih akrab dengan keimanan. Hal Itu telah dinyatakan oleh Allah swt dalam firmanNya ketika mengingatkan orang-orang yang telah beriman bahwa surga yang selama ini diharapkan, tidak begitu saja dengan mudah didapatkan tanpa ujian.
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (QS. al-Baqarah : 214)
Rasulullah saw juga mempertegas hubungan kuat antara ujian dengan keimanan tersebut dalam haditsnya. Ketika beliau ditanya oleh Sa'ad Ibn Abi Waqash,
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَاصِمِ بْنِ بَهْدَلَةَ عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً قَالَ الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلَاءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
"ya Rasulullah ! manusia manakah yang paling berat menerima ujian ? Beliau menjawab, "para nabi, orang-orang shaleh dan yang seumpamanya dari kalangan manusia umum. Seseorang akan diuji sesuai dengan keteguhan agamanya. Jika ia memiliki ketebalan serta keteguhan dalam beragama, maka bertambahlah ujiannya dan jika keberagamaannya itu tipis, maka diringankan ujiannya. Ujian tak akan menjauhi hamba sampai ia dibiarkan berjalan di permukaan bumi tanpa kesalahan sama sekali".(HR. al-Turmudzy. Hadits ini juga diriwayatkan melalui Abu Hurairah)
Ternyata ujian adalah pakaian hamba Allah yang mukmin. Ia tidak bisa lari dari ketentuan itu. Allah swt sebagai Khaliknya berhak untuk mengujinya. Sebagai hamba, ia mesti semakin arif memahami maksud sang khalik mengujinya. Apalagi setelah ujian itu datang silih berganti seolah tak pernah hentinya. Namun yang menyedihkan dari sikap sebagian Umat Islam adalah cara pandang mereka terhadap ujian itu sendiri.
Mereka hanya melihat ujian itu datang terbatas dalam bentuk bencana atau sesuatu yang memudharatkan saja, tidak dalam bentuk yang menyenangkan. Padahal Allah swt mendatangkan ujian dalam bentuk yang diinginkanNya. Terkadang Ia mendatangkan ujian dalam bentuk yang dibenci oleh nafsu manusia, tapi terkadang Ia juga mendatangkan ujian dalam bentuk yang disukai oleh manusia itu. Ini disampaikan oleh Allah swt dalam wahyuNya,
وَقَطَّعْنَاهُمْ فِي الْأَرْضِ أُمَمًا مِنْهُمُ الصَّالِحُونَ وَمِنْهُمْ دُونَ ذَلِكَ وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan yang baik-baik dan yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).(QS. al-A’raf : 168)
Cara pandang yang keliru dalam melihat ujian tersebut, melahirkan sikap yang tidak berimbang. Hanya bencana yang dipandang ujian, sedangkan kesenangan hanya dilihat sebatas nikmat. Bukan hanya sampai batas itu, yang mengkhawatirkan adalah munculnya sikap tidak sabar dan menyalahkan Allah di saat mengalami bencana. Sebaliknya bukannya bersyukur, malah yang muncul adalah sikap sombong dan lupa diri ketika bergelimang dengan kenikmatan.
Padahal itu sudah diperingatkan oleh Allah swt melalui kalamNya,
فَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَانَا ثُمَّ إِذَا خَوَّلْنَاهُ نِعْمَةً مِنَّا قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ بَلْ هِيَ فِتْنَةٌ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya ni`mat dari Kami ia berkata: "Sesungguhnya aku diberi ni`mat itu hanyalah karena kepintaranku". Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui. (QS. al-Zumar : 49).
Setiap mukmin semestinya berselindung kepada Allah dan menjauhkan diri dari sikap seperti ini.
Ajaran yang telah dijelaskan di atas, memberikan jawaban kepada siapapun yang beriman kepada Allah swt di saat hatinya bertanya, "apakah yang datang silih berganti menimpa umat di negeri ini sebagai ujian(fitnah) atau sebagai azab ? Jawabannya adalah ujian bukan azab. Selagi di negeri ini masih ada yang mukmin dan beristighfar, Allah belum akan menurunkan azabNya. Ini jaminan dari Allah Yang Maha Mengatur Alam Semesta ini dalam firmanNya,
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
"Allah tidak akan mengadzab mereka selagi engkau(Muhammad) bersama mereka dan Allah tidak mengazab mereka selagi mereka masih memohon ampun.(QS. Al-Anfal : 33).
Jika semua ini adalah ujian, maka siapa penyebabnya ? Pertanyaan beruntun seperti ini, sulit ditepis. Seorang mukmin tentu tidak akan ragu bahwa segala sesuatu yang terjadi di permukaan bumi ini sesuai dengan qadha dan qadar Allah swt. Tapi yang menjadi alasan pertanyaan adalah sikap sebagian manusia yang begitu mudah dengan alasan keyakinan itu, menyalahkan Khaliknya. Mereka gampang saja melemparkan semuanya kepada Pengatur Alam Semesta ini(Allah swt). Itu semua mereka lakukan, tak lebih dari sekedar mencuci tangan-tangan yang telah berlumuran dengan kemunkaran?! Sebaiknya setiap mukmin yang terlanjur bersikap demikian, perlu merenungkan suatu firman Allah swt:
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
"Kebaikan yang menimpamu adalah dari Allah sedangkan keburukan yang menimpamu adalah dari dirimu sendiri…"(QS. Al-Nisa` : 79).
Menghubungkan bencana kepada kesalahan diri sendiri seperti yang ditunjukkan oleh ayat di atas, itulah yang sepatutnya dilakukan oleh setiap mukmin di Negara ini. Reaksi seperti itulah yang selama ini dikenal dengan muhasabah tatkala mushibah. Ia akan melahirkan dampak positif yang sangat banyak. Di antaranya adalah; manusia yang tertimpa bencana akan termotifasi untuk memperbaiki kekeliruan masa lalu. Dan Jauh lebih penting dari itu, ia akan menjadi seorang hamba yang beradab dan berbaik sangka dengan Khaliknya.
Karena itu, pandanglah bencana ini sebagai ujian dari Allah swt yang disebabkan oleh kelalaian manusia, agar manusia itu kembali kepada kesadaran kehambaannya. Jangan pandang ini azab karena dikhawatirkan persangkaan yang demikian bisa jadi mengundang kehadiran azabNya sebagaimana hadits Rasulullah saw, bahwa Allah swt berfirman
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي ...
“.. dari Abi Hurairah ra., Ia mengataakan bahwa Rasululullah saw pernah bersabda:, Allah ta’ala berfirman; sesungguhnya Aku menurut persangkaan hamba terhadapKu…".(HR. Bukhari-Muslim)
Oleh : Gusrizal Gazahar