Berita Islam Terkini - Netizen bernama Ali Abdillah mengunggah foto dirinya sedang membawa tulisan #DENSUS88BUBAR!, di akun Facebook pribadinya, selasa(15/3/2016). Ali juga menuliskan sebuah pernyataan sikap terhadap Kapolri yang isinya menginginkan pembubaran Densus 88.
Meskipun dirinya sebagai Sekjen PPI Belanda, Ali menjelaskan bahwa Gambar dan tulisan yang diunggahnya tidak mewakili organisasi ataupun institusi apapun yang terlibat di dalamnya, dan hanya sebagai opini personal.
Berikut ini tulisan lengkap Ali Abdillah:
Pak KAPOLRI, Ini Aspirasi Saya: #DENSUS88BUBAR!
Saya sudah muak dengan keberadaan Detasemen 88 Antiteror (Densus 88) yang dimiliki oleh Kepolisian RI. Tindakan yang dilakukan oleh Densus 88 merupakan tindakan barbar dari sebuah institutisi yang dibiayai oleh uang masyarakat Indonesia. Tindakan yang dilakukan oleh Densus 88 ini merupakan tindakan tidak manusiawi, dan seluruh pejabat yang bertanggung jawab harus membubarkan satuan ini. Bukan sekali atau dua kali kita mendengar satuan ini berulah, mengatasnamakan keamanan dan antiteror. Alih-alih memberikan rasa aman masyarakat, yang dilakukan oleh Densus 88 justru menebarkan kebencian dan rasa tidak nyaman di masyarakat Indonesia. Kasus terbaru adalah kematian Siyono oleh Densus 88. Dalam kasus ini, disinyalir dia melakukan perlawanan karena ditangkap, namun akhirnya dibunuh dalam proses penangkapannya oleh salah satu anggota Densus 88. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa menjadi alasan pembubaran Densus88 ini menurut saya, yaitu:
1. Tidak taat asas Presumption of Innocence
Prinsip ini adalah prinsip yang harus dipegang oleh penegak hukum bahwa seseorang tidak boleh dinyatakan bersalah sampai ada pengadilan yang menyatakan bahwa seseorang bersalah. Apa yang dilakukan oleh Densus 88 secara jelas memberikan bukti bahwa pasukan ini tidak memilki pemahaman atas asas ini. yang lebih parah, banyak operasi yang dilakukan oleh Densus 88 bersifat destruktif alih-alih mengamankan terduga teroris. Kalaupun memang ingin mengamankan, ya bertindaklah sebagaimana mestinya, MENGAMANKAN bukan MEMBUNUH ataupun MENGHANCURKAN. Baiklah, saya bukan seorang ahli pidana yang baik, ada beberapa eksepsional mungkin dalam prinsip ini. Namun, dalam hal ini saya ingin menyoroti, bahwa kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Densus 88 bukti arogansi aparat dalam menegakkan hukum semaunya dan memberikan label bersalah seenaknya tanpa proses peradilan. Bahkan memberikan rasa takut terhadap masyarakat. Masih segar dalam ingatan saya, dalam suatu operasi pasukan ini masuk menggerebek majelis Taman Pendidikan AlQur’an (TPA) yang didalamnya banyak anak kecil yang sedang belajar Al Qur’an. Anak kecil tersebut langsung ketakutan dan menangis melihat kedatangan Densus 88 yang masuk ke dalam majelis tersebut dengan kasar dan berpakaian lengkap dengan senjata.
2. Melanggar hak dasar manusia untuk tidak disiksa dalam situasi seburuk apapun.
Kebetulan saya pernah mengambil mata kuliah HAM Uni Eropa, saya mau bilang di awal ini, saya bukan seorang ahli HAM. Namun, kalau boleh saya mengutip beberapa pelajaran yang pernah saya ikuti, hak untuk tidak disiksa adalah sebuah hak yang merupakan hak dasar masyarakat demokrasi. Dalam salah satu putusannya yang terkenal (Aksoy v Turkey), European Court of Human Rights pernah menyebutkan:
“Even in the most difficult of circumstances, such as the fight against organised terrorism and crime, European Convention on Human Rights prohibits in absolute terms torture or inhuman or degrading treatment or punishment.”
Ya, memang Indonesia bukan eropa. Bukan pula pihak yang menandatangani konvensi diatas. Namun setidaknya, kita bisa melihat bahwa tindakan tersebut sudah dikenal di belahan dunia lain, dan mereka mengecam hal tersebut. Kalau katanya pejabat Indonesia sering studi banding ke eropa, ini salah satu bahan studi banding untuk POLRI. Mengapa untuk melihat norma ini tidak mau? atau bahkan abai?
Hal ini juga diperparah dengan beberapa media masa yang ada di Indonesia yang seenak jidatnya melabelkan teroris kepada seseorang. Pembunuhan karakter semacam ini juga menurut saya sama buruknya dengan apa yang dilakukan oleh Densus 88.
3. Tidak memiliki prestasi sama sekali
Ada yang bisa menyebutkan prestasi dari Densus 88? mungkin saya yang terlalu skeptis atau sudah terlanjur muak. Saya belum menemukan prestasi dari satuan ini selain melabelkan teroris seenak jidatnya dan justru malah menebar teror dalam setiap operasinya. Kalaupun saya mau membandingkan, dibandingkan Badan Narkotika Nasional misalnya, sebuah institusi independen untuk penanggulangan narkoba yang diisi oleh banyak polisi didalamnya, cenderung lebih memberikan prestasi dalam operasinya. Sampai detik ini saya belum menemukan alasan mempertahankan Densus 88.
Setidaknya dari alasan diatas, saya menyerukan secara personal untuk #DENSUS88BUBAR. Sekali lagi, tulisan saya ini merupakan ekspresi kesal saya terhadap institusi POLRI karena masih memelihara satuan antiteror yang pekerjaannya menyebar teror. Peristiwa kematian Siyono ini seharusnya menjadi refleksi untuk POLRI. Saya tidak kenal Siyono, tidak pernah ketemu, dan tidak tahu Siyono itu siapa. Tulisan ini tidak mewakili institusi ataupun organisasi apapun yang saya terlibat di dalamnya.Kalau POLRI masih sehat, #DENSUS88BUBAR seharusnya sudah terjadi. Pertanyaannya, Pak Kapolri berani ga?(im)
Ali Abdillah
Meskipun dirinya sebagai Sekjen PPI Belanda, Ali menjelaskan bahwa Gambar dan tulisan yang diunggahnya tidak mewakili organisasi ataupun institusi apapun yang terlibat di dalamnya, dan hanya sebagai opini personal.
Berikut ini tulisan lengkap Ali Abdillah:
Pak KAPOLRI, Ini Aspirasi Saya: #DENSUS88BUBAR!
Saya sudah muak dengan keberadaan Detasemen 88 Antiteror (Densus 88) yang dimiliki oleh Kepolisian RI. Tindakan yang dilakukan oleh Densus 88 merupakan tindakan barbar dari sebuah institutisi yang dibiayai oleh uang masyarakat Indonesia. Tindakan yang dilakukan oleh Densus 88 ini merupakan tindakan tidak manusiawi, dan seluruh pejabat yang bertanggung jawab harus membubarkan satuan ini. Bukan sekali atau dua kali kita mendengar satuan ini berulah, mengatasnamakan keamanan dan antiteror. Alih-alih memberikan rasa aman masyarakat, yang dilakukan oleh Densus 88 justru menebarkan kebencian dan rasa tidak nyaman di masyarakat Indonesia. Kasus terbaru adalah kematian Siyono oleh Densus 88. Dalam kasus ini, disinyalir dia melakukan perlawanan karena ditangkap, namun akhirnya dibunuh dalam proses penangkapannya oleh salah satu anggota Densus 88. Setidaknya ada beberapa hal yang bisa menjadi alasan pembubaran Densus88 ini menurut saya, yaitu:
1. Tidak taat asas Presumption of Innocence
Prinsip ini adalah prinsip yang harus dipegang oleh penegak hukum bahwa seseorang tidak boleh dinyatakan bersalah sampai ada pengadilan yang menyatakan bahwa seseorang bersalah. Apa yang dilakukan oleh Densus 88 secara jelas memberikan bukti bahwa pasukan ini tidak memilki pemahaman atas asas ini. yang lebih parah, banyak operasi yang dilakukan oleh Densus 88 bersifat destruktif alih-alih mengamankan terduga teroris. Kalaupun memang ingin mengamankan, ya bertindaklah sebagaimana mestinya, MENGAMANKAN bukan MEMBUNUH ataupun MENGHANCURKAN. Baiklah, saya bukan seorang ahli pidana yang baik, ada beberapa eksepsional mungkin dalam prinsip ini. Namun, dalam hal ini saya ingin menyoroti, bahwa kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Densus 88 bukti arogansi aparat dalam menegakkan hukum semaunya dan memberikan label bersalah seenaknya tanpa proses peradilan. Bahkan memberikan rasa takut terhadap masyarakat. Masih segar dalam ingatan saya, dalam suatu operasi pasukan ini masuk menggerebek majelis Taman Pendidikan AlQur’an (TPA) yang didalamnya banyak anak kecil yang sedang belajar Al Qur’an. Anak kecil tersebut langsung ketakutan dan menangis melihat kedatangan Densus 88 yang masuk ke dalam majelis tersebut dengan kasar dan berpakaian lengkap dengan senjata.
2. Melanggar hak dasar manusia untuk tidak disiksa dalam situasi seburuk apapun.
Kebetulan saya pernah mengambil mata kuliah HAM Uni Eropa, saya mau bilang di awal ini, saya bukan seorang ahli HAM. Namun, kalau boleh saya mengutip beberapa pelajaran yang pernah saya ikuti, hak untuk tidak disiksa adalah sebuah hak yang merupakan hak dasar masyarakat demokrasi. Dalam salah satu putusannya yang terkenal (Aksoy v Turkey), European Court of Human Rights pernah menyebutkan:
“Even in the most difficult of circumstances, such as the fight against organised terrorism and crime, European Convention on Human Rights prohibits in absolute terms torture or inhuman or degrading treatment or punishment.”
Ya, memang Indonesia bukan eropa. Bukan pula pihak yang menandatangani konvensi diatas. Namun setidaknya, kita bisa melihat bahwa tindakan tersebut sudah dikenal di belahan dunia lain, dan mereka mengecam hal tersebut. Kalau katanya pejabat Indonesia sering studi banding ke eropa, ini salah satu bahan studi banding untuk POLRI. Mengapa untuk melihat norma ini tidak mau? atau bahkan abai?
Hal ini juga diperparah dengan beberapa media masa yang ada di Indonesia yang seenak jidatnya melabelkan teroris kepada seseorang. Pembunuhan karakter semacam ini juga menurut saya sama buruknya dengan apa yang dilakukan oleh Densus 88.
3. Tidak memiliki prestasi sama sekali
Ada yang bisa menyebutkan prestasi dari Densus 88? mungkin saya yang terlalu skeptis atau sudah terlanjur muak. Saya belum menemukan prestasi dari satuan ini selain melabelkan teroris seenak jidatnya dan justru malah menebar teror dalam setiap operasinya. Kalaupun saya mau membandingkan, dibandingkan Badan Narkotika Nasional misalnya, sebuah institusi independen untuk penanggulangan narkoba yang diisi oleh banyak polisi didalamnya, cenderung lebih memberikan prestasi dalam operasinya. Sampai detik ini saya belum menemukan alasan mempertahankan Densus 88.
Setidaknya dari alasan diatas, saya menyerukan secara personal untuk #DENSUS88BUBAR. Sekali lagi, tulisan saya ini merupakan ekspresi kesal saya terhadap institusi POLRI karena masih memelihara satuan antiteror yang pekerjaannya menyebar teror. Peristiwa kematian Siyono ini seharusnya menjadi refleksi untuk POLRI. Saya tidak kenal Siyono, tidak pernah ketemu, dan tidak tahu Siyono itu siapa. Tulisan ini tidak mewakili institusi ataupun organisasi apapun yang saya terlibat di dalamnya.Kalau POLRI masih sehat, #DENSUS88BUBAR seharusnya sudah terjadi. Pertanyaannya, Pak Kapolri berani ga?(im)
Ali Abdillah