Jenderal Angkatan Udara, Herbert "Hawk" Carlisle menyatakan bahwa Amerika Serikat tengah kekurangan ratusan pilot pesawat tempur dan operator drone.
Dalam kesaksiannya di Capitol Hill, Carlisle menyatakan bahwa Angkatan Udara AS membutuhkan 511 pilot jet tempur dan sekitar 200 pilot drone untuk melaksanakan berbagai misi yang direncanakan saat ini.
Carlisle menyatakan bahwa para operator drone yang membawa misi intelijen dan pengawasaan saat ini terpaksa bekerja lembur, sehingga Angkatan Udara AS membutuhkan sekitar 300 operator drone baru. Hal ini membuat total pilot drone yang dibutuhkan semakin meningkat, menjadi sekitar 500 orang.
Memberikan kesaksian di hadapan subkomite Senat Komite Angkatan Bersenjata, Carlisle mengatakan "pesawat yang dikemudikan jarak jauh merupakan salah satu yang paling diminati, terdapat juga permintaan yang tinggi untuk pilot tempur juga. Kami kekuarangan keduanya."
Carlisle yang menjabat sebagai Komandan Komando Tempur Udara menyebut drone sebagai "salah satu aset medan perang yang paling berharga" dan menyatakan bahwa operasi pesawat tak berawak itu telah meningkat lima kali lipat sejak 2006, dengan 8.000 penerbang yang menudukung penerbangan ini.
"Mereka mempersenjatai para pengambil keputusan dengan intelijen, memberikan target kepada pejuang tempur kami, dan menimbulkan ketakutan, kecemasan kepada musuh-musuh kami," kata Carlisle, dikutip dari CNN, Kamis (17/3).
Para pakar menilai tren ini akan berlanjut dan popularitas drone tidak akan menurun di lapangan.
"Permintaannya benar-benar tak terbatas, semua orang ingin informasi lebih lanjut," menurut Konstantin Kakaes, pakar dari New Amerika, lembaga think tank yang berbasis di Washington dan meneliti secara luas tentang penggunaan drone.
Carlisle menyatakan kurangnya pilot pesawat tempur dan pesawat tak berawak ini disebabkan karena kurangnya kemampuan untuk mempertahankan pilot.
Harga bahan bakar yang lebih rendah dan melonjaknya permintaan penerbangan mendorong maskapai untuk merekrut lebih banyak pilot dari Angkatan Udara, sementara perusahaan kontraktor pertahanan seperti General Atomics menawarkan gaji tinggi untuk pilot drone.
Meski Carlisle mengakui bahwa Angkatan Udara tidak bisa bersaing dengan maskapai penerbangan dan kontraktor pertahanan dalam hal kompensasi, dia berpikir bahwa dengan menawarkan bonus dan meningkatkan kualitas hidup, angkatan udara dapat bersaing karena keuntungan dalam kepuasan kerja.
Pilot "menemukan kepuasan pekerjaan, terus terang itu lebih besar ketimbang [sektor pekerjaan di] masyarakat sipil," katanya.
Kakaes menyatakan bahwa soal kepuasan kerja, pilot militer drone "lebih sering diterjunkan sehinga membuat pekerjaan itu lebih menarik ketimbang harus berpindah dari satu pangkalan udara domestik ke yang lain."
Tidak seperti pilot drone Angkatan Udara yang beroperasi dari berbagai pangkalan udara, seperti Pangkalan Udara Creech di Nevada, pilot drone Angkatan Darat biasanya ditempatkan di wilayah berkonflik, seperti medan perang di Irak maupun Afghanistan.
Dalam rangka untuk meningkatkan penawaran, Carlisle mengatakan Angkatan Udara akan menawarkan US$25.000 (Rp323 juta) untuk pilot drone, jumlah yang sama dengan bonus yang ditawarkan untuk pilot jet tempur.
Carlisle mengatakan Angkatan Udara berencana untuk meminta Kongres untuk meningkatkan jumlah bonus hingga US$35.000 (Rp453 juta).
"Bonus ini memberikan dampak untuk memperbaiki keadaan, tapi secara umum tidak cukup besar untuk bersaing dengan gaji pilot jika bekerja sebagai kontraktor," kata Kakaes.(acw)
Dalam kesaksiannya di Capitol Hill, Carlisle menyatakan bahwa Angkatan Udara AS membutuhkan 511 pilot jet tempur dan sekitar 200 pilot drone untuk melaksanakan berbagai misi yang direncanakan saat ini.
Carlisle menyatakan bahwa para operator drone yang membawa misi intelijen dan pengawasaan saat ini terpaksa bekerja lembur, sehingga Angkatan Udara AS membutuhkan sekitar 300 operator drone baru. Hal ini membuat total pilot drone yang dibutuhkan semakin meningkat, menjadi sekitar 500 orang.
Memberikan kesaksian di hadapan subkomite Senat Komite Angkatan Bersenjata, Carlisle mengatakan "pesawat yang dikemudikan jarak jauh merupakan salah satu yang paling diminati, terdapat juga permintaan yang tinggi untuk pilot tempur juga. Kami kekuarangan keduanya."
Carlisle yang menjabat sebagai Komandan Komando Tempur Udara menyebut drone sebagai "salah satu aset medan perang yang paling berharga" dan menyatakan bahwa operasi pesawat tak berawak itu telah meningkat lima kali lipat sejak 2006, dengan 8.000 penerbang yang menudukung penerbangan ini.
"Mereka mempersenjatai para pengambil keputusan dengan intelijen, memberikan target kepada pejuang tempur kami, dan menimbulkan ketakutan, kecemasan kepada musuh-musuh kami," kata Carlisle, dikutip dari CNN, Kamis (17/3).
Para pakar menilai tren ini akan berlanjut dan popularitas drone tidak akan menurun di lapangan.
"Permintaannya benar-benar tak terbatas, semua orang ingin informasi lebih lanjut," menurut Konstantin Kakaes, pakar dari New Amerika, lembaga think tank yang berbasis di Washington dan meneliti secara luas tentang penggunaan drone.
Carlisle menyatakan kurangnya pilot pesawat tempur dan pesawat tak berawak ini disebabkan karena kurangnya kemampuan untuk mempertahankan pilot.
Harga bahan bakar yang lebih rendah dan melonjaknya permintaan penerbangan mendorong maskapai untuk merekrut lebih banyak pilot dari Angkatan Udara, sementara perusahaan kontraktor pertahanan seperti General Atomics menawarkan gaji tinggi untuk pilot drone.
Meski Carlisle mengakui bahwa Angkatan Udara tidak bisa bersaing dengan maskapai penerbangan dan kontraktor pertahanan dalam hal kompensasi, dia berpikir bahwa dengan menawarkan bonus dan meningkatkan kualitas hidup, angkatan udara dapat bersaing karena keuntungan dalam kepuasan kerja.
Pilot "menemukan kepuasan pekerjaan, terus terang itu lebih besar ketimbang [sektor pekerjaan di] masyarakat sipil," katanya.
Kakaes menyatakan bahwa soal kepuasan kerja, pilot militer drone "lebih sering diterjunkan sehinga membuat pekerjaan itu lebih menarik ketimbang harus berpindah dari satu pangkalan udara domestik ke yang lain."
Tidak seperti pilot drone Angkatan Udara yang beroperasi dari berbagai pangkalan udara, seperti Pangkalan Udara Creech di Nevada, pilot drone Angkatan Darat biasanya ditempatkan di wilayah berkonflik, seperti medan perang di Irak maupun Afghanistan.
Dalam rangka untuk meningkatkan penawaran, Carlisle mengatakan Angkatan Udara akan menawarkan US$25.000 (Rp323 juta) untuk pilot drone, jumlah yang sama dengan bonus yang ditawarkan untuk pilot jet tempur.
Carlisle mengatakan Angkatan Udara berencana untuk meminta Kongres untuk meningkatkan jumlah bonus hingga US$35.000 (Rp453 juta).
"Bonus ini memberikan dampak untuk memperbaiki keadaan, tapi secara umum tidak cukup besar untuk bersaing dengan gaji pilot jika bekerja sebagai kontraktor," kata Kakaes.(acw)