. Assalammua'laikum Warahmatullahi Wabarakatuh...
Kepahitan Sejarah Telah 35 Abad
Sejarah mencatat, tak ada perseteruan dan permusuhan yang sedemikian lama ”seabadi” kasus Israel-Palestina, musuh bebuyutan sejak abad 14 SM sampai sekarang abad 21 M. Tak kurang dari 35 abad perseteruan itu belum juga menemukan jalan damai yang diimpikan. Bandingkan dengan perang dingin Rusia v Amerika, yang tak lebih satu abad telah berakhir dengan pecahnya Rusia pasca glasnost dan perestroika. Perang ideologi besar dunia komunis versus kapitalis juga telah berakhir dengan ambruknya masing-masing ideologi. Komunisme telah luruh menjadi neo-komunisme sejak RRC menjadi negara yang membuka modal kapitalis.
Sebaliknya, kapitalis juga ambruk seiring runtuhnya ekonomi dunia yang episentrumnya ada di Amerika. Dan kini sedang berproses mencari model baru kapitalisme (neo-kapitalisme).
Ringkasan Sejarah dan Ibrah
Bani Israil adalah golongan keturunan Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim as, juga dikenal dengan nama Yahudi. Sejarah Bani Israil bermula ketika Nabi Ibrahim mengembara bersama pengikutnya menyeberangi Sungai Eufrat menuju Kan’an (kini Palestina). Ibrahim mempunyai dua orang istri. Dari istri mudanya, Siti Hajar, dia dikaruniai seorang anak bernama Ismail. Dari istri tuanya, Siti Sarah, dia dikaruniai seorang anak bernama Ishaq. Sewaktu wafat, Ibrahim meninggalkan putranya yang kedua, Ishaq, di Kan’an dan putanya yang pertama, Ismail, di Hedzjaz (kini menjadi wilayah barat kerajaan Arab Saudi, yaitu Makkah, Madinah, Taif, dan Jeddah).
Konon, pengasingan dua anak yang berjauhan itu akibat perseteruan dua istri Ibrahim -Sarah dan Hajar- yang tidak akur. Dari sinikah awal perseteruan Israel-Palestina tersebut dimulai? Wallahu a’lam, karena ada yang bergumam, seandainya Ibrahim tidak beristri dua, niscaya dunia tidak seperti ini.
Ismail akhirnya menjadi bapak bagi sejumlah besar suku bangsa Arab, garis keturunannya hingga nabi terakhir Muhammad saw. Ishaq mempunyai dua anak, yakni Isu dan Ya’qub, yang disebut terakhir dikenal juga sebagai Israel dan darinyalah berasal keturunan Bani Israil. Ya’qub mempunyai dua istri. Dari keduanya, dia dikaruniai 12 orang anak. Yakni, Raubin, Syam’un, Lawi, Yahuza (asal kata “Yahudi”), Yassakir, Zabulun, Yusuf as, Benyamin, Fad, Asyir, Dan, dan Naftah. Dari 12 putranya itulah kemudian keturunannya berkembang.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, orang-orang Israel sudah menjadi satu suku besar dan berpengaruh, mengembara ke berbagai daerah. Akhirnya, melalui pantai timur Laut Tengah, mereka sampai ke Mesir (ketika keluarga Ya’qub menemui Yusuf as yang telah menjadi orang kepercayaan Firaun di Mesir).
Di balik kisah keluarga Ya’qub, kebiadaban dan kelicikan anak-anak Ya’qub (baca: Bani Israil) sudah terbaca saat mereka tega memasukkan Yusuf as ke sumur tua karena iri hati lantaran Yusuf lebih disayangi ayahnya. Liciknya, mereka tega menyusun skenario alibi bahwa Yusuf dimakan serigala (dikisahkan dalam QS Yusuf).
Selama 100 tahun di Mesir, Bani Israil hidup dalam suasana aman dan makmur, tetapi berikutnya adalah masa-masa pahit karena penderitaan kerja paksa di Piton. Kemudian, Nabi Musa (cucu Ya’qub keturunan dari Lawi) membawa kaumnya kembali ke Palestina. Usaha Nabi Musa as untuk membawa Bani Israil masuk Palestina tidak berhasil karena umatnya membangkang hingga nabi wafat. Akhirnya diteruskan oleh sahabatnya Yusa bin Nun. Dia membawa mereka memasuki Palestina melalui Sungai Yordan memasuki Kota Ariha dengan membunuh seluruh penduduknya. Dengan peristiwa itu, mulailah zaman pemerintahan Bani Israil atas tanah Palestina dan mereka berhasil membentuk suatu umat dari berbagai suku bangsa.
Kehidupan Bani Israil di Palestina itu dapat dibagi dalam tiga zaman.
Pertama, zaman pemerintahan hakim-hakim (lebih kurang empat abad). Pada zaman tersebut, mereka mulai berubah dari cara hidup musafir kepada cara hidup menetap.
Kedua, zaman pemerintahan raja-raja (sekitar 1028-933 SM). Pada masa itulah, tepatnya pada masa pemerintahan Nabi Daud as, Bani Israil memasuki masa jaya di Palestina.
Ketiga, zaman perpecahan dan hilangnya kekuasaan Bani Israil. Setelah meninggalnya Nabi Sulaiman as kira-kira 935 SM, dia digantikan putranya, Rahub’am, tetapi keluarga Israil yang lain mengangkat saudara Rahub’am, yaitu Yarub’am. Dari sini mulailah Bani Israil memasuki masa perpecahan.
Sementara itu, Kerajaan Mesir di selatan kembali jaya, demikian pula Suriah di utara. Keadaan tersebut menyebabkan wilayah Israil di Palestina bagai wilayah kecil yang terjepit celah-celah dua rahang mulut musuh yang menganga. Menjelang tahun 721 SM, kerajaan Israil lenyap dihancurkan oleh tentara Asyur (kini Iraq). Dengan demikian, Bani Israil hanya sempat hidup menetap selama periode 1473-586 SM. Setelah itu, mereka berpencar kembali ke berbagai negara, seperti Mesir dan Iraq. Kehancuran Israel lebih tragis lagi saat pasukan Romawi menaklukkan Palestina dan menduduki Baitulmaqdis. Panglima Titus Flavius Vespasianus sempat memusnahkan Jerusalem karena terjadi pemberontakan Yahudi di situ. Akhirnya, Bani Israil berhasil menyelamatkan diri lari ke berbagai negara, seperti Mesir, Afrika Utara, dan Eropa. Dengan ini, mulailah babak baru pengembaraan Bani Israil ke seluruh penjuru dunia.
Yahudi Tak Bisa Hidup Berdamai
Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, dia telah menemukan orang-orang Israil sebagai suatu komunitas penting di sana. Maka, sebagai penghargaan terhadap mereka, Nabi Muhammad SAW menyusun Piagam Madinah yang mengatur hidup berdampingan secara damai antara umat Islam dan umat lain, termasuk umat Yahudi. Namun, kemudian umat Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, sehingga Alquran mengutuk mereka secara terus-menerus sebagai orang yang mengkhianati janji dan mereka diusir dari Madinah.
Diakui Bani Israel memang diberi kelebihan Tuhan berupa otak yang cerdas, tetapi angkuh, sombong, dan rasis. Justru karena keangkuhan dan arogansinya itulah, mereka (Bani Israel) dikenal sebagai umat ngeyel, pembangkang (QS Al Baqarah). Meski kepadanya Tuhan mengutus beberapa nabi berturutan (Ya’qub, Yusuf, Musa, Harun, Zulkifli, Daud, Sulaiman, Zakariya, Yahya, dll) alih-alih mereka mentaati nabinya, bahkan ada yang membunuhnya. Kebiadaban yang sulit diceritakan dengan kata-kata.
Pada akhir abad ke-19 dan seterusnya, keadaan berbalik. Perang Dunia I danSejak awal pengembaraan ini sampai abad ke-19 (kira-kira 25 abad), orang Yahudi tidak banyak diperbincangkan. Hanya tercatat bahwa mereka terbuang dari satu daerah ke daerah lain atau terusir dari satu negara ke negara lain, sebaliknya umat Islam mengulurkan tangan kepada mereka. Perang Dunia II mengubah nasib bangsa ini. Cita-cita zionisme ditunjang dengan semangat yang tinggi oleh seluruh peserta perang, kecuali Nazi Jerman. Dengan cara khusus, berangsur-angsur umat Yahudi bergelombang memasuki daerah Palestina. Komisi persetujuan Amerika-Inggris memberi rekomendasi terhadap satu rombongan besar kaum ini untuk memasuki Palestina. Sampai pertengahan abad ke-20, dalam tempo 30 tahun, mereka yang memasuki Palestina mencapai angka 1.400.000 jiwa, hampir sama dengan jumlah penduduk asli Palestina.
Pada 1947, pemenang Perang Dunia II menghadiahkan satu negara Israel untuk orang Yahudi di Palestina. Negara ini sampai sekarang merupakan duri dalam daging bagi dunia Arab. Akibatnya, negara-negara Arab di satu pihak dan Israel di pihak lain merupakan dua kubu yang saling berhadapan. Peperangan antara dua kubu itu tidak putus-putusnya hingga kini, terhangat, ditandai dengan serbuan ke jalur Gaza yang membunuh ratusan korban tak berdosa.
Berkedok Historical Right
Gelombang imigrasi besar-besaran kaum Yahudi ke Palestina itu didorong oleh semangat zionisme pimpinan Theodor Herzl (1860-1904), mereka adalah orang-orang yang memiliki keyakinan agama yang sangat lemah, jika tidak ada sama sekali. Mereka melihat “keyahudian” sebagai sebuah nama ras, bukan masyarakat beriman. Mereka mengusulkan agar orang-orang Yahudi menjadi ras terpisah dari bangsa Eropa, yang mustahil bagi mereka untuk hidup bersama dan penting artinya bagi mereka untuk membangun tanah air sendiri. Mereka tidak mengandalkan pemikiran keagamaan ketika memutuskan tanah air manakah seharusnya itu. Herzl, sang pendiri zionisme, suatu kali memikirkan Uganda, lalu dikenal sebagai “Uganda Plan”. Sang Zionis kemudian memutuskan Palestina karena mereka merasa mempunyai hak sejarah (historical right) atas bumi Palestina. Tegasnya, Palestina dianggap sebagai “tanah air bersejarah bagi orang-orang Yahudi”.
Sang zionis melakukan upaya-upaya besar untuk mengajak orang-orang Yahudi lainnya menerima gagasan yang tak sesuai agama ini dan mulai berpendapat bahwa Yahudi tidak dapat hidup dengan damai dengan bangsa-bangsa lainnya, bahwa mereka adalah “ras” yang tinggi dan terpisah. Karena itu, mereka harus bergerak dan menduduki Palestina. Logika zionisme yang nasionalis, rasis, dan kolonialis inilah yang menginspirasi semua penjajahan dan semua peperangan. Tidak ada masa depan atau keamanan bagi Israel dan Timur Tengah, kecuali jika Israel meninggalkan paham zionismenya dan kembali ke agama Ibrahim. Warisan bersama tiga agama wahyu yang pro kasih sayang dan persaudaraan: Yudaisme, Nasrani dan Islam.
Dipilihnya Palestina sebagai negara zionis karena “historical right” adalah alasan yang dicari-cari dan dipaksakan. Bukankah sejak abad ke-5 SM yahudi di Palestina tinggal sedikit yang tersisa, karena menyebar, berlarian mengembara ke seluruh penjuru dunia? Pantaskah bangsa yang sudah meninggalkan tanah kelahirannya 25 abad, lalu memaksakan diri kembali ke tanah asal dengan klaim mempunyai hak sejarah? Lebih naif lagi jika semangat “mudik” itu harus diikuti dengan peperangan dan membunuh penduduk asli Palestina yang sudah menempatinya ribuan tahun dan puluhan generasi.
Melihat arogansi zionisme yang rasis, kolonialis, serta tidak bermotif iman dan damai, mestinya Israel bukanlah sekadar musuh Palestina, bukan pula musuh negara-negara Arab, atau bukan pula musuh Islam, tetapi musuh bersama dunia semua agama yang cinta damai. Sebab, jika zionisme sekuler yang menjadi mind-set nya, tidak akan pernah bisa hidup secara damai dengan siapa pun, di mana pun, dengan agama apa pun.
Sumber:Fir's Weblog