JANGAN LENGAH DENGAN TEROR JAKARTA



14 Januari 2016, batas akhir Freeport Indonesia tawarkan divestasi. Mengutip laman CNN Indonesia, hingga jelang batas akhir Freeport tidak juga ajukan penawaran. Pada hari yang sama, kawasan Sarinah, Jakarta, diguncang teror bom. Korban jiwa bergeletakan, kemencekaman hadir di mana-mana, terlebih saat berita nyaris tersiar lewat media sosial.

Bom meledak, korban jiwa melayang, biasanya ada telunjuk jari mengarah ke kalangan Islam. Meski yang dimaksud sebatas oknum, atau hanya sebagian amat minoritas dari kalangan Islam, entah kenapa media massa riuh menjadikan sebagai berita utama. Karena pola penyangkaan teroris kepada umat Islam inilah, setiap ada kejadian pengeboman di mana pun umat Islam sontak merasa siap dipersalahkan. Harus mengantisipasi mental diri agar saat ada berita menuding saudara seiman atau bahkan agamanya, mereka tidak syok.

Begitulah, di media-media sosial banyak umat Islam sibuk merapal doa dan istighfar seraya menduga-duga kemungkinan saudara dan/atau agamanya dipersalahkan kalangan tertentu. Sekian ciri persangkaan teroris ala aparat sudah dibiasakan untuk dihadirkan. Agar selaku saudara seiman tidak kaget ada berita penangkapan tersangka tragedi Sarinan ini.

Menyiapkan diri untuk siap dipersalahkan tampaknya sudah jadi nasib atau mungkin takdir yang diterima umat Islam, tanpa terkecuali di sini. Senyampang itu, sebagian umat Islam juga mencoba membela diri dengan membuat analisis yang mengaitkan hal lain tapi sering tidak dianggap penting oleh media massa bahkan aparat. Dalam kasus Sarinah ini adalah kemungkinan permainan tingkat tinggi yang menghubungkan pengalihan isu Freeport.

Nah, soal Freeport dituding ada “andil” tidak butuh lama segera hadir di banyak beranda sebagian umat Islam. Mengalihkan kemungkinan sangkaan rutin versi aparat kepada umat Islam dengan mengedepankan kalangan lain sebagai kemungkinan sumber masalah. Selama ini, umat Islam kerap jadi dan dianggap akar masalah. Sementara bila menyangkut bukan umat Islam, cenderung ditenggelamkan. Misalnya kala pelaku teror telepon beberapa mal beberapa waktu lalu diidentifikasi bukan-Islam, masalah selesai begitu saja.
Harus diakui, ada proyek untuk mempermainkan umat Islam sebagai busa di lautan isu. Dan inilah yang tampak direspons sebagai kesadaran melawan oleh sebagian umat Islam. Sering kali saat anasir umat bertindak salah atau dipojokkan salah, luar biasa deraan yang hadir. Begitu kondisi diperbuat orang lain, segera saja ada perapian bahwa kasus selesai. Inilah yang tampaknya tidak ingin berulang dalam kasus Sarinah. Freeport pun diunggah, disebarkan sebagai kemungkinan yang harus ducurigai. Perspektif lain ini menjadi niscaya ketika umat Islam terus dibungkam dan dipaksa menerima tafsir penegakan hukum ala aparat keamanan, terutama Densus 88 dan BNPT dalam kaitan ini.

Tentu saja, menudingkan jari ke pihak lain walau sebatas dugaan dan pembangunan opini agar tidak dikuasai kalangan lain, perlu batas. Jangan sampai umat jadi apologetik, membenar-benarkan asumsi sebagai fakta. Segala opini dan analisis boleh-boleh saja. Termasuk bekerja investigatif di lapangan agar ada imbangan dari kerja aparat. Jangan sampai simpulan aneh-aneh aparat lagi-lagi menerpa umat. Ini yang mesti diperbuat. Sementara ini, sambil menanti kepada siapa telunjuk aparat diarahkan, kawal saja tindakan melawan hukum yang ada; mulai dari korupsi politisi partai penguasa, divestasi Freeport, bangkitnya Lapindo, hingga munculnya ormas berbaju Islam tapi bentukan aparat intelijen. (Islampos)