Keluarga Samara. Pernikahan tidak selalu berjalan mulus.
Terkadang justru berakhir dengan perceraian. Perceraian dipilih karena dianggap
sebagai solusi dalam mengurai benang kusut perjalanan bahtera rumah tangga.
Sayangnya, perceraian tidak selalu membawa kelegaan. Sebaliknya, seringkali
perceraian justru menambah berkobarnya api perseteruan. Layar kaca pun sering
menayangkan perseteruan pada proses maupun paska perceraian yang dilakukan oleh
para publik figur Indonesia
melalui tayangan-tayangan infotainment.
Salah satu pemicu perseteruan adalah masalah hak asuh anak. Apabila pasangan
suami istri bercerai, siapa yang berhak mengasuh anak? Ayah ataukah Ibu ?
Ayah
yang pada awalnya adalah kepala keluarga. Ia merasa berhak penuh atas hak asuh
anak. Di sisi lain, ibu pada awalnya adalah pengelola keluarga. Ia telah hamil,
melahirkan, menyusui, merawat, dan mendidik anak. Ia juga merasa berhak penuh
atas hak asuh anak. Bagaimana solusinya?
Hakikat Perceraian
Perceraian
adalah perpisahan atau putusnya hubungan suami-istri. Di antara keduanya
diharamkan atas aktifitas pemenuhan seksual, serta lepas dari hak dan kewajiban
sebagai suami dan istri.
Sebenarnya
perceraian adalah solusi terakhir. Ibarat pintu darurat, ia hanya dilalui jika
bahtera rumah tangga tidak mungkin diselamatkan. Oleh sebab itu, seharusnya
perceraian menjadi “api pemadam” bukan penambah kobaran perseteruan. Berarti
perlu kejelasan syariat, siapa yang memiliki hak asuh anak (hadhanah).
Hak Asuh Anak Menurut Syariat Islam
Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr : Bahwa seorang wanita berkata, “Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan tetak sayalah yang telah menjadi minumannya dan haribaankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan aku dan hendak menceraikan anakku pula dari sisiku.” Maka bersabdalah Rasulullah saw. : “Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).”
Ahmad, Abu Daud, dan Al-Hakim telah meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr : Bahwa seorang wanita berkata, “Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan tetak sayalah yang telah menjadi minumannya dan haribaankulah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikan aku dan hendak menceraikan anakku pula dari sisiku.” Maka bersabdalah Rasulullah saw. : “Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum kawin (dengan orang lain).”
Demikian
halnya saat Umar bin Khattab menceraikan Ummu Ashim dan bermaksud mengambil
Ashim bin Umar dari pengasuhan mantan istrinya. Keduanya pun mengadukan masalah
ini kepada Abu Bakar r.a. selaku amirul mukminin saat itu.
Abu
Bakar berkata : “Kandungan, pangkuan, dan
asuhan Ummu Ashim lebih baik bagi Ashim dari pada dirimu (Umar) hingga Ashim
beranjak dewasa dan dapat menentukan pilihan untuk dirinya sendiri.”
Ayah
dan ibu adalah orang tua anak-anaknya. Walaupun ayah dan ibu telah bercerai,
anak tetap berhak mendapat kasih dan sayang dari keduanya. Ayah tetap
berkewajiban memberi nafkah kepada anaknya. Anak berhak menjadi ahli waris
karena merupakan bagian dari nasab ayah dan ibunya. Anak gadis pun harus
dinikahkan oleh ayahnya, bukan oleh ayah tiri.
Bagaimana
nasib ibu yang telah menjanda? Ibu yang menjanda akibat diceraikan suaminya
maka ia berhak mendapat nafkah dari suami hingga masa iddahnya berakhir (tiga
kali haid) serta upah dalam pengasuhan anak baik dalam masa iddah maupun
setelahnya hingga anak mencapai fase tamyiz
(berakal) dan melakukan takhyir
yang memungkinkan ia untuk memilih ikut ibu atau ayah
Jika
anak belum mencapai fase tamyiz
(berakal), maka ibu tetap berkewajiban mengasuh anaknya. Jika ibu tidak mampu
mengasuh anaknya (misalnya karena : kafir/murtad, tidak waras, dan sebab syar’i
lainnya yang tidak memungkinkan dia mengasuh dan mendidik anak), maka
pengasuhan dapat dilakukan oleh ibunya ibu (nenek dari anak) hingga garis
keturunan seterusnya. Jika dari semua yang tergolong mulai dari ibunya ibu
hingga garis keturunan seterusnya tidak mampu mengasuh maka menjadi kewajiban
ayah untuk mengasuh atau mencari pengasuh yang mumpuni untuk mengasuh dan
mendidik anak-anaknya.
Pengasuh
yang dipilih bisa ibunya ayah (nenek anak) hingga garis keturunan seterusnya.
Bisa juga perempuan lain yang memang mumpuni dalam mengasuh anak. Adapun syarat
pengasuh anak adalah baligh dan berakal, mampu mendidik, terpercaya dan berbudi
luhur, Islam, dan tidak bersuami. (Fiqih Anak,
2004. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo).
Perceraian
memang pahit. Akan tetapi perceraian lebih baik dipilih daripada kehidupan
rumah tangga menjadi terpuruk sehingga bisa menyebabkan berbagai kemaksiatan.
Tugas ayah dan ibu berikutnya adalah menanamkan cinta dan kasih sayang kepada
anggota keluarganya agar anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut
tidak condong kepada sikap durhaka. Baik kepada ibu, ayah, maupun keduanya. Hal
ini karena ayah dan ibu adalah orang tua dari anak.
Dengan demikian, fenomena yang terjadi seperti berebut hak asih anak, mengadu pada Komisi Perlindungan Anak maupun LSM-LSM Peduli Anak, seharusnya tidak perlu terjadi. Hal itu justru bisa menimbulkan stress pada anak. Apalagi sampai menghindarkan anak dari pertemuan dengan ayah atau ibunya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila anak-anak menjadi depresi dan membenci salah satu maupun kedua orang tuanya. Inilah saatnya untuk memutus lingkaran setan dari kesalahan pemahaman mengenai hak asuh anak (hadhanah) sesuai syariat Islam. Wallahu’alam bish shawab.www.keluarga-samara.com
Dengan demikian, fenomena yang terjadi seperti berebut hak asih anak, mengadu pada Komisi Perlindungan Anak maupun LSM-LSM Peduli Anak, seharusnya tidak perlu terjadi. Hal itu justru bisa menimbulkan stress pada anak. Apalagi sampai menghindarkan anak dari pertemuan dengan ayah atau ibunya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila anak-anak menjadi depresi dan membenci salah satu maupun kedua orang tuanya. Inilah saatnya untuk memutus lingkaran setan dari kesalahan pemahaman mengenai hak asuh anak (hadhanah) sesuai syariat Islam. Wallahu’alam bish shawab.www.keluarga-samara.com
Telah diedit oleh : Farid Ma’ruf