Kita sering mendengar kata-kata DUSTA atau Kebohongan.
Diantara sekian banyak orang
yang hidup dimuka bumi ini, ada sebagian orang yang suka mengotori ucapannya
dengan dusta. Apa yang membuat mereka melakukan hal ini?
Pertama: mereka kurang paham
tentang ilmu agama. Kedua; mereka tidak tahu persis antara yang baik dan
yang buruk.Selain itu, mereka tidak tahu tentang ancaman bagi orang yang
berdusta.
Kendati mereka diberi tahu bahwa dusta itu begini dan
begini, mereka mendengar dan meyakininya, tapi hanya sekejap saja. Terkadang
hal yang seperti ini mereka anggap kecil, dan biasa-biasa saja. Kita berlindung
kepada Allah dari anggapan-anggapan keliru.
Di sisi lain, ada orang yang senang berdusta ketika
membujuk anak-anak mereka. Ada
orang yang suka berdusta tentang mimpi yang ia lihat dalam tidurnya. Ada juga orang yang suka
berdusta, karena hanya sekedar ingin bersenda gurau, dan melawak.
Para pembaca yang budiman, itulah dusta yang sering lewat di
telinga kita dari sebagian orang-orang jahil. Lantas apa yang dimaksud DUSTA? Para ulama kita banyak membahas tentang defenisi dusta,
bahaya dan bentuk-bentuknya.
Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah -hafizhohallah- (Puteri
Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy –rahimahullahu-) berkata, “Dusta dalam bahasa
Arab adalah sesuatu yang menyelisihi kenyataan”. [Lihat Nashihati li An-Nisaa'
(hal. )]
Jika seseorang sengaja mengucapkan sesuatu yang
menyelisihi realita, maka inilah dusta yang diharamkan di dalam Al-Qur’an dan
Sunnah. Kedustaan merupakan sifat orang-orang kafir yang tak beriman kepada
ayat-ayat Allah. Lantaran itu, seyogyanya seorang mukmin tidak mengikuti sifat
ini. [Lihat Fathul Bari (2/122), cet. Dar As-Salam]
Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mulia berfirman,
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah
orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. Dan mereka itulah
orang-orang yang dusta.” (QS. An-Nahl : 105)
Ayat ini memperingatkan kita bahwa sesungguhnya
orang-orang yang suka berdusta adalah orang-orang yang tidak mau beriman kepada
ayat-ayat Allah. Mereka tidak takut terhadap ancaman Allah –Shubhanahu wa
Ta’ala- yang sangat pedih lagi keras.
Al-Imam Abul Faroj Ibnul Jauziy -rahimahullah- berkata,
“Ayat ini merupakan kecaman yang paling keras terhadap kedustaan, karena sifat
dusta dikhususkan bagi orang yang tak beriman”. [Lihat Zaadul Masiir (4/128)]
Kebohongan adalah perbuatan dan ciri orang-orang
munafiq. Oleh karena itu, hendaknya kita menjauhinya. Sebab jika terbiasa
dusta, boleh jadi pada akhirnya kita berubah menjadi orang munafik. Rasulullah
-Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
“Tanda-tanda orang munafiq itu ada tiga: (1) Apabila
berkata, ia dusta. (2) Apabila berjanji, ia ingkar. (3) Apabila dipercaya, ia
khianat”. [HR. Al-Bukhoriy (no. 33), dan Muslim (no. 59)]
Hadits ini memperingatkan kita bahwa sifat-sifat orang
munafiq, demikian adanya. Semoga kita tidak memiliki sifat-sifat tersebut dan
senantiasa berikhtiar untuk menjaga diri kita dari sifat-sifat tersebut.
Kebohongan akan mengantarkan pelakunya kepada dosa dan
kemaksiatan. Kebohongan alias kedustaan akan menyebabkan seseorang menzhalimi
orang lain, mengambil tanah orang, korupsi, memakan harta yang haram,
mendurhakai orang tua, melakukan kebatilan, merusak agama, dan lainnya. Jadi,
dusta adalah dosa penyebab dosa lain.
Tak heran jika Nabi –Shollallahu Alaihi Wasallam- telah
bersabda,
“Sesungguhnya kejujuran akan mengantarkan kepada
kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan ke surga. Senantiasa
seseorang berlaku jujur dan berusaha untuk selalu jujur hingga ia dicatat oleh
Allah sebagai shiddiq (orang amat jujur). Sesungguhnya kedustaan akan
mengantarkan kepada kedurhakaan (dosa), dan sesungguhnya kedurhakaan akan
mengantarkan ke neraka. Senantiasalah seorang hamba berdusta dan berusaha untuk
selalu berdusta hingga ia dicatat oleh Allah sebagai pendusta”. [HR.
Al-Bukhoriy (no. 6094), dan Muslim (no. 2607)]
Al-Imam Abu Zakariyya Yahya Ibn Syarof An-Nawawiy
-rahimahullah- berkata, “Para ulama berkata, “Di dalam hadits ini terdapat
anjuran untuk berusaha jujur, yakni menginginkan kejujuran, dan
memperhatikannya, dan (di dalalmnya juga) terdapat peringatan dari bahaya
dusta, dan bergampangan di dalamnya. Karena, jika ia bergampangan dalam dusta,
maka dusta itu akan semakin banyak darinya, lalu ia pun dikenal dengannya.
Allah akan mencatatnya sebagai shiddiq (yang amat jujur), karena
kesungguhannya, jika ia terbiasa dengan kejujuran; atau ia dicatat sebagai
pendusta, jika ia terbiasa dengan dusta”. [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim
(16/375)]
Sesungguhnya manusia tidak akan ridho untuk dikatakan
sebagai PENDUSTA ditengah-tengah manusia. Apakah tidak selayaknya dia enggan
untuk dicatat oleh Allah sebagai PENDUSTA sedang Robb-Nya adalah Robb yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat?!
Orang yang dusta tidak akan dipercayai oleh manusia,
pembicaraan dan perbuatannya akan dicampakkan, dan akan dibenci oleh manusia
karena kedustaannya.
Kalau kita ingin memeriksa deretan dosa-dosa besar,
maka dusta termasuk dosa besar. Al-Imam Adz-Dzahabiy menggolongkannya dosa
besar yang ke-24. [Lihat Kitab Al-Kaba'ir (hal. 49-51) karya Adz-Dzahabiy,
dengan tahqiq Samir bin Amin Az-Zuhairiy]
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda
menyebutkan ucapan malaikat yang beliau lihat dalam mimpinya,
“Adapun lelaki yang engkau datangi, yang dirobek
rahangnya sampai ke tengkuknya, hidungnya sampai ke tengkuknya, dan matanya
sampai bagian tengkuknya. Orang tersebut yang keluar pagi hari dari rumahnya,
kemudian menebarkan satu kebohongan hingga memenuhi cakrawala”. [HR.
Al-Bukhoriy (no. 7047)]
Hadits ini menunjukkan bahwa dusta adalah dosa besar,
sebab Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- menyebutkan ancaman dan siksaan keras
yang akan diterima oleh si pendusta di hari kiamat.
Lebih parah lagi jika seseorang berbohong atas nama
Allah -Azza wa Jalla-, dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-. Sebab
dusta ini akan merusak agama dan umat. Lihatlah para pemalsu hadits yang rela
berdusta atas nama Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- demi merusak Islam.
Sebab hadits-hadits palsu tersebut sering kali memberikan penjelasan dan
keyakinan batil. [Lihat Az-Zawaajir 'an Iqtirof Al-Kaba'ir (1/177), karya
Al-Haitamiy, cet. Dar Al-Hadits]
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
“Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang
membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya?
bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang
kafir?” (QS. Az-Zumar : 32)
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
“Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka”. [HR. Al-Bukhoriy
(1219), dan Muslim (3)]
Al-Imam Al-Qori Al-Hanafiy -rahimahullah- berkata,
“Dengan adanya hadits ini, maka tertolaklah sangkaan orang membolehkan
pemalsuan hadits-hadits demi memberikan dorongan dalam beribadah, sebagaimana
yang terjadi pada sebagian orang-orang sufi yang jahil dalam memalsukan hadits
tentang surah-surah Al-Qur’an, keutamaan sholat malam, dan siang, serta yang
lainnya”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (6/458)]
Diantara kedustaan nama Allah dan Rasul-Nya adalah
WASIAT DUSTA yang disandarkan kepada Penjaga kubur Nabi -Shallallahu alaihi wa
sallam- yang bernama Syaikh Ahmad. Wasiat batil ini banyak mengandung kedustaan
dan kemungkaran. Karenanya, jangan tertipu dengan selebaran yang berisi wasiat
dusta tersebut.