Ada
satu organisasi atau aliran yang seolah menjadi penguasa di daerah tersebut.
Tidak ada tempat ibadah selain dari aliran organisasi tersebut, yakni Badan
Gereja Injili di Indonesia (GIDI).
“Kami sangat menyesalkan. Ada aturan tidak boleh pakai jilbab,” ujar
Ketua Badan Pengurus Wilayah Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (BPW KKSS)
Papua, Mansur.
“Sebenarnya (yang salah) tidak hanya pemerintah,
tapi juga kesalahan petinggi politik di sana,” katanya.
PAPUA –
Korban kerusuhan di Tolikara Papua rata-rata berasal dari Sulawesi Selatan
(Sulsel), Jawa, dan Madura. Namun, 80 persen berasal dari Sulsel. Perantau yang
tinggal di Tolikara Papua sudah lama diintimidasi.
Ketua Badan Pengurus Wilayah Kerukunan Keluarga
Sulawesi Selatan (BPW KKSS) Papua, Mansur mengatakan, ada satu organisasi atau
aliran yang seolah menjadi penguasa di daerah tersebut. Tidak ada tempat ibadah
selain dari aliran organisasi tersebut, yakni Badan Gereja Injili di Indonesia
(GIDI).
“Tiap Kamis, umat muslim dan nasrani yang beda
dengan aliran itu eksodus ke Wamena. Di Wamena umat Islam tinggal sampai hari
Jumat untuk shalat Jumat dan yang lain sampai hari Minggu karena mau
kebaktian,” ujar Mansur, seperti dilansir pojoksulsel.com (grup
pojoksatu.id), Sabtu (18/7/2015).
Sekadar diketahui, jarak dari Wamena ke Tolikara
sekitar 8 jam perjalanan darat. Mengenai kondisi itu, Mansur mengatakan,
pihaknya sudah menyampaikan kepada pemerintah setempat untuk mengantisipasi hal
tersebut.
“Sebenarnya tidak hanya pemerintah, tapi juga
kesalahan petinggi politik di sana,”
katanya.
Dia mengatakan, sebenarnya rencana pelaksanaan
shalat Idul Fitri direncanakan di kantor Kodim dan sudah ada jaminan dari
pemerintah. Juga di lokasi di rumah warga asal Palopo yang dijadikan mushalah.
“Kami sangat menyesalkan. Ada aturan tidak boleh pakai jilbab. Tidak
boleh seperti itu. Orang Papua berada di Indonesia dan daerah manapun juga
tidak afa aturan seperti itu,” kata Mansur.
Dia mengimbau kepada orang asal Sulsel di Papua
agar menahan diri dan jangan terpancing. Dia berharap, pemerintah dan aparat
keamanan melakukan langkah antisipatisi agar kejadian tidak terulang dan
toleransi beragama berjalan baik.
Penegasan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya saw
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ جَٰهِدِ
ٱلۡكُفَّارَ وَٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱغۡلُظۡ عَلَيۡهِمۡۚ وَمَأۡوَىٰهُمۡ جَهَنَّمُۖ
وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ _سورة التوبة,٧٣
“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang
kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.
tempat mereka ialah Jahannam. dan itu adalah tempat kembali yang
seburuk-buruknya.” (QS. At-Taubah: 73)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda;
«مَنْ لِكَعْبِ بْنِ
الْأَشْرَفِ؟ فَإِنَّهُ قَدْ آذَى اللهَ وَرَسُولَهُ»، فَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ
مَسْلَمَةَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَتُحِبُّ أَنْ أَقْتُلَهُ؟ قَالَ: «نَعَمْ»
“Siapa yang bersedia membalas Ka’ab bin
Asyraf? Dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya!” Maka berdirilah Muhamamd bin
Maslamah dan berkata, “Apakah engkau suka bila aku membunuhnya, Wahai
Rasulullah? Beliau menjawab, “Ya”. (Hadits Muttafaqun ‘Alaih)
(bit)