Mengingat adanya ngustad yg memfatwakan kepemimpinan bukan urusan agama,
Share kembali status berikut.
................................
Fenomena Ruwaibidhah Di Zaman Ini
By Aan Chandra Thalib
Di sebuah negeri antah berantah, dimana semua bisa serba instan, dengan mengandalkan ketrampilan mengolah kata, seseorang bisa dengan mudah di-ustadz-kan. Dengan modal Al Qur’an dan terjemahannya seseorang bisa langsung menafsirkan Al-Qur’an.
Ada lagi yang masuk Islam hari ini, besoknya langsung jadi da’i. Asal bisa bahasa arab sedikit, ditambah laptop atau tablet langsung membuka majelis pengajian dan punya murid plus nongol di TV. Sesekali jadi aktor buat film “religi” di bulan Ramadhan.
Karena merasa disaingi oleh sang da’i, artis juga tak mau kalah. Sambil megang gitar tua, sang artis tanpa malu-malu berfatwa pada masaalah-masalah yang memerlukan kompetensi fiqih tingkat tinggi. Iya, berfatwa pada masalah-masalah yang seandainya ditanyakan pada Umar bin Khathab, niscaya dia akan mengumpulkan Ahli Badr (pejuang perang Badr) untuk mencari jawabannya.
Kabar terakhir yang saya terima, ada mentalis yang tiba-tiba jadi mufassir(pakar tafsir). Konon tafsirnya “luar biasa”. Iya, “luar biasa” karena keluar dari yg biasa..
Di negri itu juga.. Semua orang -kecuali yang dirahmati Allah- merasa kurang kalau tidak bicara soal agama, tak peduli apa latar belakang pendidikannya. Bahkan merupakan sesuatu yang WAH dan perlu mendapat apresiasi apabila ada orang bicara bukan pada bidangnya. Dengan gelar Prof. Dr. Anda bebas untuk bicara dibidang apa saja yang anda mau. Senin jadi pakar hukum. Selasa jadi pengamat ekonomi. Rabu jadi kriminolog. Kamis jadi pengamat politik. Jum’at jadi khotib. Sabtu jadi ahli komunikasi. Ahad jadi komentator bola. Biar keren, tak perlu panggil Ustadz, cukup “Cendikiawan Muslim” saja.
Jurusnya gak jauh-jauh dari:
Menurut saya…
Menurut hemat kami…
Menurut pengamatan saya…
Saya sih melihatnya boleh-boleh saja…
Si awam pun ya iya-iya saja..
Padahal, “Ilmu itu adalah agama, maka perhatikan dari siapa kamu mengambil agamamu” (Ibnu Sirin).
Para salaf terdahulu sangat takut untuk mengomentari sesuatu tanpa ilmu. Mereka takut kalau tergelincir walau sejengkalpun dari petunjuk rabbani. Ibnu Abi Malikah -rahimahullah- mengatakan : Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallaahu ‘Anhu pernah berkata : ‘Bumi mana yang akan ku pijak, dan langit mana yang akan sanggup menaungiku, jika aku berkata tentang ayat dari kitab Allah dengan ra’yu-ku (pendapatku) atau dengan apa yang aku tidak tahu.’
Dalam taarikh Dimasyq Ibnu Asakir meriwayatkan bahwa Atho Ibnu Rabah –rahimahullah– pernah ditanya tentang sesuatu. Beliau menjawab:
“Aku tidak tahu”. Penanya tadi berkata: Tidakkah engkau mau mengutarakan pendapat pribadimu dalam masalah ini..? Atho menjawab:
ﺇﻧﻲ ﺃﺳﺘﺤﻲ ﻣﻦ ﺍﻟﻠَّﻪ ﺃﻥ ﻳﺪﺍﻥ ﻓِﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﺑﺮﺃﻳﻲ
“Aku malu pada Allah, jika orang-orang dimuka bumi ini beragama dengan pendapatku”.
Bandingkan sifat kehati-hatian salaf dengan sifat sebagian orang saat ini, yang ilmunya tidak sampai sepersepuluh dari ilmu mereka, namun lagaknya sudah seperti mujtahid mutlak, begitu gampangnya menghukumi sesuatu atau mengomentari sesuatu. Sebagai catatan, apapun Latar belakang pendidikan seseorang tak jadi masaalah, hanya saja kenalilah kapasitas diri. Setiap bidang punya ahlinya.
Bagi penuntut ilmu, fenomena diatas bukan hal yang mustaghrab (patut dianggap aneh) sebab Rasulullah shallahu alaihi wasallam telah jauh-jauh hari mengabarkan akan munculnya fenomena ini. Sahabat Abu Hurairah –radhiyallahu anhu– mengatakan; Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara.” Ada yang bertanya, “Apa yang dimaksudRuwaibidhah?”. Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah).
Manyikapi fenomena diatas marilah sejenak bersama petunjuk Rabbani. Allahazza wa jalla berfirman:
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻘْﻒُ ﻣَﺎ ﻟَﻴْﺲَ ﻟَﻚَ ﺑِﻪِ ﻋِﻠْﻢٌ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺴَّﻤْﻊَ ﻭَﺍﻟْﺒَﺼَﺮَ ﻭَﺍﻟْﻔُﺆَﺍﺩَ ﻛُﻞُّ ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﻛَﺎﻥَ ﻋَﻨْﻪُ ﻣَﺴْﺌُﻮﻟًﺎ
“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [QS Al Isra`: 36].
Dia juga berfirman:
ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻟِﻤَﺎ ﺗَﺼِﻒُ ﺃَﻟْﺴِﻨَﺘُﻜُﻢُ ﺍﻟْﻜَﺬِﺏَ ﻫَﺬَﺍ ﺣَﻠَﺎﻝٌ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺣَﺮَﺍﻡٌ ﻟِﺘَﻔْﺘَﺮُﻭﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟْﻜَﺬِﺏَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻔْﺘَﺮُﻭﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟْﻜَﺬِﺏَ ﻟَﺎ ﻳُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ
“Janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram.” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” [QS An Nahl: 116].
Dan firman-Nya:
ﻗُﻞْ ﻫَﺬِﻩِ ﺳَﺒِﻴﻠِﻲ ﺃَﺩْﻋُﻮ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﺼِﻴﺮَﺓٍ ﺃَﻧَﺎ ﻭَﻣَﻦِ ﺍﺗَّﺒَﻌَﻨِﻲ
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” [QS Yusuf: 108]
Dua Ayat pertama diatas mengandung pelarangan berbicara tanpa ilmu. Adapun ayat selanjutnya menerangkan bahwa apabila kita ingin berdakwah, hendaklah melandasi dakwah kita dengan hujjah berupa ilmu dan dalil dari Al Quran maupun hadits. Apabila seseorang berdakwah tanpa landasan ilmu maka bisa jadi dia menyangka telah menyeru kepada kebaikan, namun pada kenyataannya dia telah menyeru kepada kesalahan dan kebid’ahan. Na’udzubillahi min dzalik.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah berkata: “….Jika hal itu (ilmu dan fiqih) menjadi tolak ukur seluruh amal sholih, maka wajib bagi pelaku amar ma’ruf nahi munkar untuk memenuhi keriteria tersebut dalam dirinya, dan tidak dikatakan amal sholih apabila dilakukan tanpa ilmu dan fiqih, sebagaimana pernyataan Umar bin Abdil Aziz: “Orang yang menyembah Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkannya labih besar dari kemaslahatan yang dihasilkannya”
Beliau melanjutkan, “Ini sangat jelas, karena niat dan amal yang tidak disertai ilmu merupakan kebodohan, kesesatan dan (bentuk) pengekoran terhadap hawa nafsu. Maka dari itu ia harus mengetahui yang ma’ruf dan yang munkar serta dapat membedakan keduanya. Ia juga harus memiliki ilmu tentang apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang.” (Secara ringkas dari Majmu Fatawa 28 hal: 135-137. Jilid: 14 bagian ke dua hal: 78 untuk cetakan Daarul wafaa’ ).
Semoga catatan singkat ini bermanfaat untuk saya dan pembaca.
_____________________
Dhuha ditepi laut merah.
Jum’at 09-03-1435 H
***
Penulis: Ust. Aan Chandra Thalib El-Gharantaly, Lc