Oleh: Abu Harits
Relawan Kemanusiaan
SEBUAH pengalaman mahal bisa ikut dalam ekspedisi kemanusiaan untuk mengantarkan bantuan pangan dan obat-obatan bagi warga Suriah yang terlunta-lunta. Saat itu saya ditemani oleh seorang relawan Suriah, Abu Uwais namanya. Dia menjadi pemandu jalan bagi saya dan tim kemanusiaan untuk mengantarkan amanah bantuan kemanusiaan kepada warga Suriah yang tertindas.
Langit telah berubah menjadi rona kekuning-kuningan tanda waktu sore pun tiba, saatnya kami berisitirahat sejenak. Dengan membawa teko kecil berisi teh hangat di tangan kanan dan gelas-gelas kecil di tangan kiri, Abu Uwais menawarkan kepada kami minuman.
Lalu lalang orang di maktab Daarul Qodlo (semacam kantor peradilan) kota Sarmada menjadi pemandangan sehari-hari. Tiba-tiba saja kami dikejutkan dengan penahanan orang-orang yang dituduh melakukan tindakan kriminal. orang-orang yang ditahan di Daarul Qodlo diperlakukan dengan baik. Saat itu Abu Uwais melihatnya dan bergumam, Ini tidaklah sama dengan Far’u Filisthin.
Far’u Filisthin jika diterjemahkan secara laterlijk adalah cabang Palestina. Sebuah negeri bersejarah, saksi bisu atas diutusnya para nabi dan rasul. Tentu saja, hati akan bergetar mengingat negeri ini, negeri yang penuh barokah dan nilai sejarah akan kepahlawanan kaum muslimin. Ketika mendengar kata Far’u Filisthin (فرع فلسطين) untuk pertama kalinya, angan-angan saya langsung terbang membayangkan perjuangan rakyat Palestina dalam melawan penjajah yahudi Israel. Bayang-bayang akan kepahlawanan rakyat Palestina mempertahankan bumi suci para nabi memenuhi ruang imajinasiku.
Namun imajinasi pikiranku sesaat hancur berkeping-keping ketika mendengarkan penjelasan Abu Uwais tentang Far’u Filisthin yang ada di Damaskus Suriah. Ternyata ia adalah sebuah nama penjara bawah tanah yang menyeramkan dan menakutkan. Siapa saja yang divonis penjara di tempat tersebut, pastilah seluruh keluarganya tidak lagi bisa berharap akan bertemu dengannya kembali.
Far’u Filisthin sering pula dikenal dengan sebutan far’u 235, cabang ini di bawah komando divisi Intelejen militer Suriah. Berlokasi di Damaskus, tempat ini terdiri dari tiga lantai bawah tanah. Bangunan bawah tanah ini telah ada sejak masa Hafidz Asad, sekarang berfungsi menjadi tempat tahanan atau penjara bagi siapa saja yang dituduh makar terhadap rezim Asad.
“Di saat meletusnya aksi unjuk rasa besar-besaran di awal 2011, saya dan beberapa rekan diciduk oleh pihak keamanan. Penangkapan terjadi pada waktu malam dini hari. Saat itu kami langsung disekap dan dimasukkan ke dalam mobil tentara. Kondisi mulai mencekam saat saya harus mengamankan seluruh keluargaku. Diriku berusaha untuk memberontak dan melarikan diri, namun karena jumlah tentara yang begitu banyak mengepung rumahku, akhirnya saya tidak kuasa dan menyerah. Dengan sigap beberapa tentara membekuk saya dan memborgol dengan kasar sekali. Diriku ditangkap tanpa penunjukan surat penangkapan. Akhirnya diriku diseret dan dibawa masuk ke mobil mereka. Derai tangis air mata istri dan anak-anakku melepas kepergianku,” ungkap Abu Uwais kepadaku, sembari matanya menerawang membayangkan anggota keluarganya.
Abu Uwais melanjutkan kisahnya; “Di dalam mobil, saya disekap. Kemudian mobil pun berhenti. Saat saya diturunkan dari mobil, baru diketahui bahwa diriku dibawa ke Far’u Filisthin, tempat penyiksaan yang paling mengerikan di Suriah ini. Diriku dimasukkan ke dalam kamar berukuran kecil dan di dalamnya sudah ada sekitar 15 sampai 20 orang tahanan. Selama satu hari kami tidak diberi makan dan minum, ada di antara kami yang pingsan dan sebagian besar tubuhnya lemas dan lunglai. Setelah itu barulah diberikan makanan dan minuman yang banyak. Tentu saja tidak selezat makanan di luar tahanan, namun karena rasa lapar dan haus yang mencekik kerongkongan, makanan yang sebenarnya tidak layak dimakan itu pun akhirnya habis kami lahap beramai-ramai. Di kamar yang sempit itu tidak ada tempat untuk buang hajat. Kelihatannya memang disengaja kami diberikan makan dan minum yang banyak sementara tidak ada kesempatan bagi kami untuk buang hajat atau membersihkan diri. Ini baru awal penyiksaan. Banyak di antara kami yang tidak bisa menahan buang hajat, akhirnya mereka buang air kecil dan besar di celana mereka. Tentu saja bau busuk tak tertahankan menyebar dan menusuk hidung kami. kamar yang sempit dan berpenghuni 20 orang itu serasa tempat septic tank.”
Sehari berikutnya, mulailah penyiksaan yang mengerikan. Satu demi satu dari mereka digelandang keluar dan dipukuli. Tidak ada bentuk pertanyaan interogasi yang ada hanya pukulan-pukulan telak mendarat ke sekujur tubuh. bahkan ada di antara mereka yang digantung kakinya dan dipukuli kepalanya. Sementara Abu Uwais mengalami penyiksaan yang mengerikan dan belum pernah dibayangkan sebelumnya.
“Saat itu kedua kakiku terbelenggu dengan besi, kemudian sebatang besi dimasukkan di antara kedua betisku lalu diikatkan dengan kedua tanganku. Praktis, tubuhku tidak bisa bergerak sedikitpun, lalu sebatang besi tersebut diangkat dan diletakkan di atas rollnya. Saat itu, tubuhku diputar-putar hingga kepalaku terasa pusing sekali. Cambukan dan pukulan mengiringi gerakan rolling tubuhku,” keluh Abu Uwais.
Seusai penyiksaan hari itu, semua tahanan dimasukkan kembali ke sel-sel dan kamar-kamar mereka. Kondisi kamar berubah drastis, kalau sebelumnya bau busuk seperti septic tank, maka saat itu bau anyir darah mendominasi ruangan kami. Kondisi lebih buruk lagi, tatkala beberapa tahanan mengeluhkan rasa sakitnya dan meminta penanganan dokter kepada petugas sipir penjara.
Petugas penjara pun mendatangkan dokter, namun yang datang sebenarnya adalah penjagal berbaju dokter. Bukan perawatan dan penanganan medis yang diberikan namun justru penyiksaan yang lebih menyakitkan. Abu Uwais menuturkannya dengan nada parau karena menahan rasa pilu yang menderu di hatinya.
Perbincangan di sore hari itu, membuat diriku larut dan hanyut dalam sedih dan nestapa yang dialaminya. Abu Uwais -sosok pemuda Suriah yang kini masih belum bisa kembali bersama dengan keluarganya- bergabung dengan pejuang dan aktifis kemanusiaan demi harapan dan asa dalam jiwanya; “Semoga Suriah kembali seperti pada zaman keemasan Islam,” curahan hatinya kepada saya.
Ayah dari empat orang anak ini mengalami luka permanen di bagian kaki kirinya akibat penyiksaan kejam dari tentara dan milisi rezim Asad. Jalannya tidak bisa tegap namun iman dan keteguhan hatinya tetap mantap -in Syaa Allah-. Sesekali ia mengumbar senyum dan tawa di hadapan saya sembari menyuguhkan segelas kecil teh hangat khas Suriah dan obrolan pun berlanjut hangat.
Lalu terbersit dalam benak saya sebuah pertanyaan, Mengapa tempat tersebut dinamakan Far’u Filisthin? Disebut demikian karena bermaksud penghinaan terhadap rakyat Palestina. Dengan nama itu sejatinya Suriah dijadikan sebagai cabangnya Palestina dalam hal penindasan dan kedzoliman terhadap rakyatnya.
Kalau di Palestina ditindas oleh tentara Zionis Yahudi, maka di Suriah kaum muslimin ditindas oleh anteknya yaitu Syiah Nushoiriyah, begitu ujarnya.
Hasbunalloh wa ni’mal wakiil, tersirat kepedihan hati mendalam di raut wajah Abu Uwais. Dirinya bukanlah satu-satunya yang mengalami nasib naas. Banyak dari rekan-rekannya yang meninggal dunia akibat penyiksaan yang di luar batas kemanusiaan. Dirinya cukup beruntung -dengan karunia Allah-, di saat tubuhnya remuk redam dan lemah lunglai akibat penyiksaan, tiba-tiba saja salah seorang dari sipir penjara membentaknya dan menyuruhnya keluar dari penjara Far’u Filisthin. Itulah momen yang dianggapnya sebagai kehidupan kedua.
“Inilah kesempatan hidup kedua bagi saya dan saya berusaha untuk mengisinya dengan perjuangan,” pungkasnya.
Hari pun semakin gelap, matahari pun sampai di peraduannya. Adzan Maghrib menutup obrolan kami. Suasana kota Sarmada-Idlib menjadi tempat peraduan hati Abu Uwais di hari itu.
Di hadapan matanya masih terlihat lika-liku jalan perjuangan panjang yang harus ditempuh untuk menuju kedamaian Suriah dalam naungan Islam. Semoga Allah ta’ala menyegerakan pertolongan-Nya untukmu wahai saudaraku.
#islampos