ISU pemecahbelahan terhadap dunia Islam tidak semuanya fakta; sebagaimana tidak seluruhnya isapan jempol belaka. Sebab, upaya untuk melumpuhkan kekuatan umat Islam merupakan proyek yang disepakati banyak kelompok. Posisi umat Islam persis seperti yang disinyalir dalam hadits: “gerombolan pemangsa yang berebutan terhadap makanannya.”
Sejarah sendiri menunjukkan bahwa kekuatan umat Islam terdapat dalam empat komponen vital: menegakkan manhaj yang hak, bersatu dalam manhaj tersebut, mengajak manusia kepadanya, dan akhirnya upaya membela manhaj itu. Keempat komponen inilah yang dikandung misi Ilahiyah kepada umat Islam dalam Al-Qur’an:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS. Ali Imran/3: 301)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS. Ali Imran/3: 110)
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu…” (QS. al-Hajj/22: 78)
Dalam upayanya, musuh-musuh Islam senantiasa merongrong keempat komponen vital tersebut, baik global atau parsial. Biasanya dimulai dengan menyasar manhaj yang hak, kemudian meniupkan angin perpecahan, demi menciptakan friksi dalam internal umat sehingga kekuatannya lumpuh, tidak mampu lagi mengajak manusia kepada Islam atau melindungi dirinya.
Strategi ini tampak klise, namun selalu aktual. Musuh Islam kerap mendapatkan hasilnya, sementara umat yang menjadi korban menderita kekalahan yang pahitnya dirasakan hingga ke generasi berikutnya. Musuh-musuh Islam memecah negeri-negeri Muslim dan saling membagi hasil-hasil buminya.
Faktor-faktor perpecahan, berupa fanatisme jahiliyah kepada ego pribadi, ras, tanah air, bangsa, atau keturunan; merupakan penyakit yang mengendap dalam jiwa manusia (QS. Hud: 118-119). Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut hanya menunggu manipulasi serta provokasi, khususnya terhadap pribadi-pribadi yang lemah.
Dalam konteks ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan umat agar tidak terpancing lewat faktor-faktor tersebut. Dalam kasus upaya kelompok Yahudi memantik fanatisme jahiliyah dalam diri kaum Muslim, dimana sebagiannya berhasil terprovokasi, Rasulullah menegur dengan keras:
"Jauhi seruan-seruan itu,sesungguhnya perkara tersebut tidak baik" (HR. Bukhari no. 3518)
Strategi ini menjadi senjata bagi generasi serta komprador Yahudi sepanjang zaman. Strategi yang berhasil menggiring generasi terbaik di era Nubuwah untuk memanggil dengan sentimen kelompok: “Wahai orang-orang Anshar!” yang dibalas pihak lawannya: “Wahai orang-orang Muhajirin!” Kendati kedua pihak segera tersadar setelah mereka diperingatkan.
Namun ketika kaum Muslim lengah, kelompok phobi Islam memanfaatkan kembali sentimen serta fanatisme kelompok tadi. Akibatnya, umat Islam terpecah dan negeri-negeri mereka terpisah. Proyek besar memecahbelahan umat selalu memanfaatkan faktor fanatisme jahiliyah, yang jelas dilarang Al-Qur’an. Fanatisme yang menjadikan standar cinta dan benci, kawan dan lawan; bukan karena ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam banyak kasus, untuk tidak menyebut semuanya, lawan Islam tidak perlu menciptakan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Mereka cukup memblow up serta memanipulasi perbedaan pendapat yang ada. Untuk menciptakan friksi dan persaingan yang sengit, hingga menghasilkan konflik yang kadang sampai kepada tingkat pertumpahan darah.
Sejak kolonialisme berhasil memecah negeri-negeri Islam pasca unifikasi di bawah payung kepemimpinan Khilafah Utsmaniyah, musuh-musuh umat tidak henti-hentinya mengembangkan strategi untuk menciptakan perpecahan baru. Proyek tersebut menggunakan beragam cara dan metode, tidak jarang intensitasnya berkurang; namun yang pasti tidak pernah berhenti. Kerap mengalami kegagalan, tapi tak mengenal putus asa. Sebab, apapun hasilnya, musuh Islam akan memetik keuntungan ganda.
“Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS. al-Baqarah/2: 105)
Dengan kata lain, politik belah bambu senantiasa membuahkan keuntungan ganda bagi lawan: kekuatan baru serta ekspansi, atau lumpuhnya kekuatan umat Islam.
Pasca kekalahan Turki Utsmani di PD I, Inggris dan Prancis membagi dunia Timur Arab sesuai dengan kepentingan jangka pendek pada saat itu. Perjanjian tahun 1916 M yang dikenal dengan Sykes-Picot Agreement tersebut sesungguhnya disusun secara acak, yang sengaja menyimpan potensi konflik perbatasan. Potensi konflik tersebut lahir dari perbedaan agama, ras, atau aliran. Tiga sumbu “sektarianisme” yang sengaja dipelihara di daerah perbatasan negara yang telah terpecah, dan menjadi “bom waktu” yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Era perpecahan politik pertama merupakan proyek Eropa. Salibis Nasrani dengan berbagai sektenya membagi-bagi kekuasaan atas negeri-negeri kaum Muslim, pra dan pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Juga setelah menjamin tersedianya tanah rampasan buat komunitas Yahudi. Inggris menganeksasi Irak, Palestina, Mesir, dan Sudan. Prancis dijatah Suriah dan Maroko. Italia merampas Libia dan negeri-negeri tanduk Afrika. Tidak ketinggalan Belanda, Spanyol, dan Portugis yang mendapat bagian terhadap negeri Islam lainnya.
Di era kolonialisme tersebut, Salibis Nasrani menanamkan benih-benih disintegrasi, yang kelak bisa dimanfaatkan dalam menciptakan perpecahan baru, baik itu secara geografis, geopolitik, atau kekayaan alam. Tanpa kepentingan itu pun, cukup menimbulkan friksi agar kekuatan lawan (Islam) senantiasa dalam kondisi lumpuh, sibuk mengatasi konflik dan permasalahan internal.
Penulis akan mengangkat sejumlah proyek pemecahbelahan/separasi yang terbuka ke publik dalam beberapa dekade terakhir. Fakta yang membuktikan bahwa proyek tersebut sistematis dan terorganisir. Musuh-musuh Islam bermain di belakangnya, demi melumpuhkan kekuatan serta elemen vital umat yang disinggung di atas.
Sebelum masuk ke detail proyek tersebut dengan segenap dinamika dan dampaknya, ada beberapa benang merah yang harus digarisbawahi terkait dengan proyek pemecahbelahan itu:
Pertama, bahwa proyek tersebut tidak sekadar teori di atas kertas, tapi dijalankan dan menjadi policy yang berlaku sejalan dengan kondisi yang ada.
Kedua, pihak yang menjadi korban utama dalam seluruh proyek tersebut adalah umat Islam umumnya, dan secara khusus Ahlus Sunnah, terlebih lagi bangsa Arab. Arab menjadi kawasan yang paling miskin dan terisolasi.
Ketiga, pasca era kolonialisme Inggris dan Prancis, ada tiga pihak yang menjalankan proyek tersebut dewasa ini: Amerika Serikat, Israel, dan Iran.
Keempat, ketiga pihak yang tersebut itu memiliki strategi ekspansinya masing-masing, yang berusaha membentangkannya ke wilayah dan kekayaan kelompok Sunni.
Kelima, ketiga pihak tersebut bisa saja berbeda pendapat dalam segala hal, kecuali permusuhan terhadap Muslim Sunni, sebagai rival ideologi; atau Arab, sebagai lawan ras.
Keenam, ketiga pihak tersebut memiliki agen yang bermain di tengah umat, beraksi di kelompok-kelompok minoritas. Nama-nama mereka sebagaimana Muslim pada umumnya, tapi dengan spirit dan militansi yang tidak jarang lebih tinggi daripada “sang majikan,” demi kepentingan sesaat dengan mengorbankan kepentingan kaum Muslim.
Ketujuh, ada banyak kemiripan yang sangat kentara dari sejumlah proyek tersebut, walaupun aktor dan waktu terjadinya berbeda. Semuanya sama memandang pentingnya berkonsentrasi kepada empat wilayah yang merepresentasikan jantung umat Islam: Syam, Mesir, Irak, dan Jazirah Arabia. Selanjutnya adalah daerah-daerah yang punya nilai strategis sendiri.
Kedelapan, Zionisme global, baik itu sayap Yahudi atau Nasrani, memiliki peran sentral dalam menanamkan proyek pemecahbelahan tersebut, sekaligus yang memetik hasilnya. Tidak ada satu pun proyek pemecahbelahan yang tidak melibatkan tangan-tangan Zionisme, sebagai teoritikus atau pihak yang diuntungkan.
Israel
Pada tahun 1982, sebuah dokumen rencana proyek pemecahbelahan yang menyasar sebagian besar negara Arab terungkap. Isi dokumen tersebut demikian berbahaya. Sebagian besar rencana yang dimuat di dalamnya telah terwujud di Irak dan Sudan; sedangkan yang menunggu adalah Mesir, Suriah, Yaman, dan Libya, bila kita tidak mengubah sikap. Dalam laporan organisasi Zionisme internasional yang dimuat majalah Kivunim (14/2/1982) yang dikutip koran Mesir al-Ahram al-Iqtishadi, tersebut skenario persis sebagaimana yang terjadi di Irak saat ini dan diberlakukan terhadap Suriah sejak saat itu.
Laporan tersebut di antaranya menulis: “Irak yang kaya dengan minyaknya merupakan negari(a) yang rawan konflik internal, dan dapat disasar oleh Zionisme. Kehancuran Irak bagi kami lebih penting daripada Suriah. Sebab, dalam jangka dekat Irak adalah ancaman paling berbahaya bagi negeri Ibrani.”
Sedangkan untuk Suriah, laporan tersebut menulis:
Suriah secara mendasar tidak berbeda jauh dengan Libanon yang terdiri dari faksi-faksi yang berbeda, kecuali dari segi pemerintahan junta militer yang berkuasa. Tapi konflik vertikal antara mayoritas Sunni dengan minoritas Syiah-Nushairiyah (12%) yang berkuasa mengindikasikan potensi konflik yang rumit. Memecah Suriah dan Irak berdasar kelompok ras atau agama menjadi negara-negara kecil yang indipenden di masa depan merupakan tujuan jangka pendek Zionisme di kawasan Timur. Suriah kelak akan menjadi negara-negara kecil sesuai dengan komponen ras dan sekte di dalamnya.
Laporan tersebut selanjutnya mencatat rencana terhadap Sudan dan Mesir, sebagaimana perkembangan kondisi yang terjadi akhir-akhir ini.
Sebelum rencana yang detail tersebut dimuat majalah Kivunim tahun 1982, terbit sebuah buku berjudul Khanjar Israil/Belati Israel (1957) oleh penulis bernama R.K. Karanjia. Buku tersebut memuat dokumen yang dikenal dengan nama Dokumen Karanjia sesuai dengan nama jurnalis India tersebut. Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir saat itu, yang menyerahkan dokumen tersebut kepada Karanjia, setelah bocor atau dibocorkan dari Staf Angkatan Bersenjata Zionis.
Dokumen itu berisi rencana memecah negara-negara Arab pasca Sykes-Picot Agreement. Suriah dibagi kepada negera Druze (sekte, pent.) di daerah selatan, Nushairiyah di Latakia, Sunni di Damaskus dan sekitarnya. Selanjutnya Syiah di Selatan Lebanon, lainnya Maronites, Sunni di wilayah tengah dan utara. Tidak lupa negara merdeka bagi suku Kurdi di Irak, Syiah di selatan, sedangkan Sunni terisolasi di wilayah tengah Irak, Baghdad dan sekitarnya.
Amerika Serikat
Amerika, sebagaimana juga Israel, melihat bahwa Inggris dan Prancis sesungguhnya melakukan dua kekeliruan dalam konteks Sykes-Picot Agreement yang membagi sisa-sisa Turki Utsmani. Salah satunya adalah bahwa kesepakatan tersebut dibuat secara acak, terdorong oleh kepentingan sesaat, tanpa mengoptimalkan sekat-sekat sektarian berupa agama atau aliran keyakinan. Lantaran itu, pernyataan-pernyataan politik AS dan Israel tentang pemecahan negara-negara Arab senantiasa berangkat dari revisi terhadap Sykes-Picot Agreement itu.
Kesalahan kedua adalah terlalu sedikitnya negara yang berhasil dilahirkan lewat kesepakatan tersebut. Seharusnya, versi AS dan Israel, lebih banyak lagi jumlah negara yang lahir.
Hingga beberapa tahun terakhir, AS memiliki ambisi ekspansi yang besar, yang bertumpu pada penguasaan terhadap sumber-sumber minyak dunia yang strategis: Irak, Iran, laut Kaspia, dan negara-negara Teluk Arab. Proyek tersebut dikenal sebagai Project for the New American Century (PNAC), yang dipromotori oleh kelompok konservatif baru Yahudi yang berada di pusat kekuasaan era Bush Junior. Hanya saja proyek tersebut gagal akibat dampak dari perlawanan terhadap pendudukan AS terhadap Irak dan Afghanistan, yang menurut rencana sesungguhnya menarget lima negara lainnya.
Di tengah larutnya AS dalam berbagai invasinya, dalam rangka mewujudkan New American Century itu, mencuat banyak wacana tentang proyek AS dalam rangka pemecahan negara-negara, khususnya tentang Geater Middle East. Satu yang sangat populer adalah proposal yang diterbitkan oleh Bernard Lewis, Yahudi Inggris berkebangsaan Amerika. Dalam serangannya terhadap Irak dan Afghanistan, AS berkgerak mewujudkan visi Lewis, yang digagasnya di era 40-an. Gagasan yang diperbaruinya di awal era 80-an dan diterapkan pada awal dekade yang sama.
Proyek Lewis dalam rangka memecah negara-negara Islam dan Arab berdasar kepada tiga fondasi, sesuai perspektif AS dan Israel, yaitu perbedaan agama, sekte, dan ras. Lewis juga menuntut untuk mengubah institusi Islam dan Arab tidak lebih sebagai “bangunan yang terbuat dari kertas karton,” yang senantiasa lemah sehingga menjamin eksistensi kekuatan Yahudi.
Sejak dini, proposal Lewis menginginkan agar Irak dibagi menjadi tiga, persis dengan rencana Yahudi yang disinggung sebelumnya. Sedangkan Suriah menjadi empat bagian: Alawiyyin/Nushairiyah, dua bagian buat Sunni, dan sisanya buat Druze. Mesir diproyeksikan untuk menjadi empat bagian: Sina dan timur Delta buat kekuasaan Zionis (dalam rangka Israel Raya), utara Mesir buat Koptik Mesir dengan ibu kota Iskandariyah, selatan buat Nobian dengan pusatnya Aswan, dan sisanya buat kaum Muslim dengan ibu kotanya Kairo.
Dalam proyeksi Lewis, Sudan menjadi empat bagian: selatannya buat kelompok Nasrani dan masyarakat pagan, ujung utara buat Nobian, yang akan terkoneksi dengan Nobian di selatan Mesir; Darfur buat kaum Muslim non-Arab, sedangkan Muslim Arab di bagian tengah.
Adapun Yaman, dia bagi kepada utara dan selatan. Negara-negara Teluk menurut Lewis harus dibagi kepada negara Syiah Arab yang terletak di pantai barat Teluk Arab, yang akan mencakup selatan Irak bila kelak terpisah; utara semenanjung Arab yang digabung dengan Urdun, sebagai negara alternatif bagi bangsa Palestina, rencana yang gigih diperjuangkan oleh Ariel Sharon. Selanjutnya Lewis menginginkan agar manajemen Makkah dan Madinah dipergilirkan, hal yang juga dituntut oleh sekte Rafidhah sejak bertahun lamanya. Adapun jantung Jazirah, maka dibiarkan bagi Sunni Arab, tanpa kekuatan dan potensi kekayaan alam!
Tahun 2006, majalah Angkatan Bersenjata AS edisi Juni mengangkat sebuah artikel oleh Ralph Peters, seorang pensiunan pejabat intelijen AS, yang mengajukan proposal untuk membagi ulang negara-negara Arab dan Islam berdasar ras dan keturunan. Dia membuat peta yang disebutnya “blood borders” yang diajukannya kepada otoritas AS agar dijalankan, sebagaimana Inggris dan Prancis dengan Sykes-Picot Agreement.
Dalam peta yang dibuatnya, Peters mengulang kembali detail proyek pemecahbelahan sebelumnya yang pernah ada, khusus yang terkait dengan negara-negara Arab inti. Tapi dia menambahkan usulan sejumlah negara baru setelah negara lama yang dibubarkan.
Visi Ralph Peters dangkal dan tidak realistis. Akan tetapi dia mengungkapkan, meminjam pernyataan Abdulwahab Musayri, simpul pemikiran di kalangan pemegang kebijakan AS terhadap dunia Islam. Sebab, penulis artikel tersebut adalah seorang kolonel yang dekat dengan pemegang kebijakan di samping posisinya di institusi intelijen. Artikel tersebut juga dimuat di majalah resmi angkatan bersenjata, yang merepresentasikan kebijakan lembaga.
Kelak, proposal Peters terbukti tidak lahir dari ruang hampa. Tepat setelah perang Lebanon berkobar tahun 2006, menlu AS saat itu, Condoleezza Rice segera mengumumkan bahwa peta Timur Tengah sedang direkonstruksi! Rice menduga bahwa perang akan semakin melebar hingga ke kawasan sekitarnya, sehingga proyek tersebut akan berjalan.
Iran
Ketika revolusi Iran pecah yang disusul oleh perang berdarah Iran-Irak, yang berlangsung selama delapan tahun di bawah dukungan Barat, beberapa tuntutan mengemuka untuk merebut kembali wilayah yang dicaplok Iran, seperti Shatt al-Arab, Arabistan, dan pulau-pulau Emirat Arab. Khomeini saat itu menjawab: “Jika kalian menginginkan daerah tersebut karena merupakan daerah Arab secara historis, maka sesungguhnya Imperium Persia, dalam sejarahnya, membentang dari Khurasan (Iran dan Afghanistan) hingga Yaman!”
Beberapa dekade setelah pernyataan itu, konspirasi Revolusi Iran terhadap kawasan Khurasan hingga Yaman tidak pernah berhenti. Di Yaman, pengaruh Syiah-Persia di wilayah utara menjadi ancaman serius bagi seluruh semenanjung Arab.
Boleh jadi Iran tidak memiliki rencana yang dibuka ke publik, sebagimana kasus Israel dan AS, apalagi karena Syiah bertumpu kepada doktrin “taqiyah” yang merambah sampai ke urusan politik. Akan tetapi jelas bahwa Iran mengambil keuntungan dari setiap proyek pemecahbelahan yang lain. Baik itu lewat kolaborasi langsung, atau keuntungan tidak langsung. Karena setiap kali posisi Ahlus Sunnah melemah, maka akan menambah defisit kekuatan Iran, rival historis Ahlus Sunnah sejak Shafawiyah mengintrodusir Syiahisme ke negeri Faris.
Irak, yang diumumkan oleh Israel akan dipecahbelah sejak empat dekade lewat, tidak hanya direngkuh sepertiga bagiannya, yang kaya sumber daya alam, oleh Syiah. Bahkan seluruh daerah Irak sesungguhnya telah jatuh ke dalam kekuasaan Syiah, lewat koalisi semu dan dengan tokoh sekuler yang menjadi kaki tangannya. Lebanon, yang sebelumnya diproyeksikan akan dibagi menjadi delapan bagian berdasar kelompok sekte, telah dikuasai seluruhnya oleh Syiah yang pro-Iran, dalam gerakan yang mirip kudeta politik.
Jika Yaman diwacanakan terbagi kepada utara dan selatan yang terpisah, maka proyek Syiah mencakup keduanya. Iran bermain di belakang kemarahan kelompok separatis di selatan Yaman, sambil mendukung gerakan di utara Yaman yang bersuara menuntut persamaan. Itu dilakukannya dengan blow up media yang sitematis dan tanpa henti terhadap gerakan Houthi.
Gerakan separatis di Bahrain telah melampau batas obsesi, menjadi serakah. Iran tidak hanya menginginkan salah satu laut Bahrain, tapi kedua-duanya. Menjadi sebuah republik Syiah revolusioner yang pertama di Teluk Arab yang Sunni. Yang akan menjadi “magnet” bagi “republik-republik” Syiah selanjutnya.
Suriah dewasa ini menjadi buah bibir proyek pemecahbelahan pasca rezim Ba’ath-Nushairiyah. Peta lama menginginkan wilayah utara dengan ibu kota Latakia diserahkan kepada Nushairiyah (Alawiyah). Adapun Iran, berusaha keras untuk tidak menyia-nyiakan momentum demi menjamin kepentingannya berupa jalur masuk lewat Laut Tengah, melalui sebuah negera boneka kecil yang dihuni kelompok Nushairiyah. Negara bentukan Rafidhah tersebut akan menjadi duri abadi di jantung wilayah Syam (Islam-Sunni).
Iran bertaruh dengan semua proyek pemecahbelahan yang mengacu kepada faktor sektarianisme aliran. Di samping berusaha mencabut bagian-bagian dari wilayah Ahlus Sunnah yang berpenduduk mayoritas Syiah, Iran juga tidak ketinggalan menanamkan pengaruhnya di negeri-negeri mayoritas Sunni lainnya. Upaya infiltrasi dilakukan Iran secara intensif di Mesir, Palestina, Sudan, dan banyak negara Afrika dan Asia.
Artikel ini tidak mampu menyorot semua bahasan terkait proyek krusial pemecahbelahan yang terjadi di negeri-negeri Islam. Apa yang diketengahkan tidak lebih merupakan garis besarnya saja. Paparan yang lebih rinci akan dikemuakakan pada tulisan yang lain, dengan izin Allah. (Ip)
Sejarah sendiri menunjukkan bahwa kekuatan umat Islam terdapat dalam empat komponen vital: menegakkan manhaj yang hak, bersatu dalam manhaj tersebut, mengajak manusia kepadanya, dan akhirnya upaya membela manhaj itu. Keempat komponen inilah yang dikandung misi Ilahiyah kepada umat Islam dalam Al-Qur’an:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS. Ali Imran/3: 301)
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS. Ali Imran/3: 110)
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu…” (QS. al-Hajj/22: 78)
Dalam upayanya, musuh-musuh Islam senantiasa merongrong keempat komponen vital tersebut, baik global atau parsial. Biasanya dimulai dengan menyasar manhaj yang hak, kemudian meniupkan angin perpecahan, demi menciptakan friksi dalam internal umat sehingga kekuatannya lumpuh, tidak mampu lagi mengajak manusia kepada Islam atau melindungi dirinya.
Strategi ini tampak klise, namun selalu aktual. Musuh Islam kerap mendapatkan hasilnya, sementara umat yang menjadi korban menderita kekalahan yang pahitnya dirasakan hingga ke generasi berikutnya. Musuh-musuh Islam memecah negeri-negeri Muslim dan saling membagi hasil-hasil buminya.
Faktor-faktor perpecahan, berupa fanatisme jahiliyah kepada ego pribadi, ras, tanah air, bangsa, atau keturunan; merupakan penyakit yang mengendap dalam jiwa manusia (QS. Hud: 118-119). Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut hanya menunggu manipulasi serta provokasi, khususnya terhadap pribadi-pribadi yang lemah.
Dalam konteks ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan umat agar tidak terpancing lewat faktor-faktor tersebut. Dalam kasus upaya kelompok Yahudi memantik fanatisme jahiliyah dalam diri kaum Muslim, dimana sebagiannya berhasil terprovokasi, Rasulullah menegur dengan keras:
"Jauhi seruan-seruan itu,sesungguhnya perkara tersebut tidak baik" (HR. Bukhari no. 3518)
Strategi ini menjadi senjata bagi generasi serta komprador Yahudi sepanjang zaman. Strategi yang berhasil menggiring generasi terbaik di era Nubuwah untuk memanggil dengan sentimen kelompok: “Wahai orang-orang Anshar!” yang dibalas pihak lawannya: “Wahai orang-orang Muhajirin!” Kendati kedua pihak segera tersadar setelah mereka diperingatkan.
Namun ketika kaum Muslim lengah, kelompok phobi Islam memanfaatkan kembali sentimen serta fanatisme kelompok tadi. Akibatnya, umat Islam terpecah dan negeri-negeri mereka terpisah. Proyek besar memecahbelahan umat selalu memanfaatkan faktor fanatisme jahiliyah, yang jelas dilarang Al-Qur’an. Fanatisme yang menjadikan standar cinta dan benci, kawan dan lawan; bukan karena ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam banyak kasus, untuk tidak menyebut semuanya, lawan Islam tidak perlu menciptakan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Mereka cukup memblow up serta memanipulasi perbedaan pendapat yang ada. Untuk menciptakan friksi dan persaingan yang sengit, hingga menghasilkan konflik yang kadang sampai kepada tingkat pertumpahan darah.
Sejak kolonialisme berhasil memecah negeri-negeri Islam pasca unifikasi di bawah payung kepemimpinan Khilafah Utsmaniyah, musuh-musuh umat tidak henti-hentinya mengembangkan strategi untuk menciptakan perpecahan baru. Proyek tersebut menggunakan beragam cara dan metode, tidak jarang intensitasnya berkurang; namun yang pasti tidak pernah berhenti. Kerap mengalami kegagalan, tapi tak mengenal putus asa. Sebab, apapun hasilnya, musuh Islam akan memetik keuntungan ganda.
“Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS. al-Baqarah/2: 105)
Dengan kata lain, politik belah bambu senantiasa membuahkan keuntungan ganda bagi lawan: kekuatan baru serta ekspansi, atau lumpuhnya kekuatan umat Islam.
Pasca kekalahan Turki Utsmani di PD I, Inggris dan Prancis membagi dunia Timur Arab sesuai dengan kepentingan jangka pendek pada saat itu. Perjanjian tahun 1916 M yang dikenal dengan Sykes-Picot Agreement tersebut sesungguhnya disusun secara acak, yang sengaja menyimpan potensi konflik perbatasan. Potensi konflik tersebut lahir dari perbedaan agama, ras, atau aliran. Tiga sumbu “sektarianisme” yang sengaja dipelihara di daerah perbatasan negara yang telah terpecah, dan menjadi “bom waktu” yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Era perpecahan politik pertama merupakan proyek Eropa. Salibis Nasrani dengan berbagai sektenya membagi-bagi kekuasaan atas negeri-negeri kaum Muslim, pra dan pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Juga setelah menjamin tersedianya tanah rampasan buat komunitas Yahudi. Inggris menganeksasi Irak, Palestina, Mesir, dan Sudan. Prancis dijatah Suriah dan Maroko. Italia merampas Libia dan negeri-negeri tanduk Afrika. Tidak ketinggalan Belanda, Spanyol, dan Portugis yang mendapat bagian terhadap negeri Islam lainnya.
Di era kolonialisme tersebut, Salibis Nasrani menanamkan benih-benih disintegrasi, yang kelak bisa dimanfaatkan dalam menciptakan perpecahan baru, baik itu secara geografis, geopolitik, atau kekayaan alam. Tanpa kepentingan itu pun, cukup menimbulkan friksi agar kekuatan lawan (Islam) senantiasa dalam kondisi lumpuh, sibuk mengatasi konflik dan permasalahan internal.
Penulis akan mengangkat sejumlah proyek pemecahbelahan/separasi yang terbuka ke publik dalam beberapa dekade terakhir. Fakta yang membuktikan bahwa proyek tersebut sistematis dan terorganisir. Musuh-musuh Islam bermain di belakangnya, demi melumpuhkan kekuatan serta elemen vital umat yang disinggung di atas.
Sebelum masuk ke detail proyek tersebut dengan segenap dinamika dan dampaknya, ada beberapa benang merah yang harus digarisbawahi terkait dengan proyek pemecahbelahan itu:
Pertama, bahwa proyek tersebut tidak sekadar teori di atas kertas, tapi dijalankan dan menjadi policy yang berlaku sejalan dengan kondisi yang ada.
Kedua, pihak yang menjadi korban utama dalam seluruh proyek tersebut adalah umat Islam umumnya, dan secara khusus Ahlus Sunnah, terlebih lagi bangsa Arab. Arab menjadi kawasan yang paling miskin dan terisolasi.
Ketiga, pasca era kolonialisme Inggris dan Prancis, ada tiga pihak yang menjalankan proyek tersebut dewasa ini: Amerika Serikat, Israel, dan Iran.
Keempat, ketiga pihak yang tersebut itu memiliki strategi ekspansinya masing-masing, yang berusaha membentangkannya ke wilayah dan kekayaan kelompok Sunni.
Kelima, ketiga pihak tersebut bisa saja berbeda pendapat dalam segala hal, kecuali permusuhan terhadap Muslim Sunni, sebagai rival ideologi; atau Arab, sebagai lawan ras.
Keenam, ketiga pihak tersebut memiliki agen yang bermain di tengah umat, beraksi di kelompok-kelompok minoritas. Nama-nama mereka sebagaimana Muslim pada umumnya, tapi dengan spirit dan militansi yang tidak jarang lebih tinggi daripada “sang majikan,” demi kepentingan sesaat dengan mengorbankan kepentingan kaum Muslim.
Ketujuh, ada banyak kemiripan yang sangat kentara dari sejumlah proyek tersebut, walaupun aktor dan waktu terjadinya berbeda. Semuanya sama memandang pentingnya berkonsentrasi kepada empat wilayah yang merepresentasikan jantung umat Islam: Syam, Mesir, Irak, dan Jazirah Arabia. Selanjutnya adalah daerah-daerah yang punya nilai strategis sendiri.
Kedelapan, Zionisme global, baik itu sayap Yahudi atau Nasrani, memiliki peran sentral dalam menanamkan proyek pemecahbelahan tersebut, sekaligus yang memetik hasilnya. Tidak ada satu pun proyek pemecahbelahan yang tidak melibatkan tangan-tangan Zionisme, sebagai teoritikus atau pihak yang diuntungkan.
Israel
Pada tahun 1982, sebuah dokumen rencana proyek pemecahbelahan yang menyasar sebagian besar negara Arab terungkap. Isi dokumen tersebut demikian berbahaya. Sebagian besar rencana yang dimuat di dalamnya telah terwujud di Irak dan Sudan; sedangkan yang menunggu adalah Mesir, Suriah, Yaman, dan Libya, bila kita tidak mengubah sikap. Dalam laporan organisasi Zionisme internasional yang dimuat majalah Kivunim (14/2/1982) yang dikutip koran Mesir al-Ahram al-Iqtishadi, tersebut skenario persis sebagaimana yang terjadi di Irak saat ini dan diberlakukan terhadap Suriah sejak saat itu.
Laporan tersebut di antaranya menulis: “Irak yang kaya dengan minyaknya merupakan negari(a) yang rawan konflik internal, dan dapat disasar oleh Zionisme. Kehancuran Irak bagi kami lebih penting daripada Suriah. Sebab, dalam jangka dekat Irak adalah ancaman paling berbahaya bagi negeri Ibrani.”
Sedangkan untuk Suriah, laporan tersebut menulis:
Suriah secara mendasar tidak berbeda jauh dengan Libanon yang terdiri dari faksi-faksi yang berbeda, kecuali dari segi pemerintahan junta militer yang berkuasa. Tapi konflik vertikal antara mayoritas Sunni dengan minoritas Syiah-Nushairiyah (12%) yang berkuasa mengindikasikan potensi konflik yang rumit. Memecah Suriah dan Irak berdasar kelompok ras atau agama menjadi negara-negara kecil yang indipenden di masa depan merupakan tujuan jangka pendek Zionisme di kawasan Timur. Suriah kelak akan menjadi negara-negara kecil sesuai dengan komponen ras dan sekte di dalamnya.
Laporan tersebut selanjutnya mencatat rencana terhadap Sudan dan Mesir, sebagaimana perkembangan kondisi yang terjadi akhir-akhir ini.
Sebelum rencana yang detail tersebut dimuat majalah Kivunim tahun 1982, terbit sebuah buku berjudul Khanjar Israil/Belati Israel (1957) oleh penulis bernama R.K. Karanjia. Buku tersebut memuat dokumen yang dikenal dengan nama Dokumen Karanjia sesuai dengan nama jurnalis India tersebut. Gamal Abdel Nasser, Presiden Mesir saat itu, yang menyerahkan dokumen tersebut kepada Karanjia, setelah bocor atau dibocorkan dari Staf Angkatan Bersenjata Zionis.
Dokumen itu berisi rencana memecah negara-negara Arab pasca Sykes-Picot Agreement. Suriah dibagi kepada negera Druze (sekte, pent.) di daerah selatan, Nushairiyah di Latakia, Sunni di Damaskus dan sekitarnya. Selanjutnya Syiah di Selatan Lebanon, lainnya Maronites, Sunni di wilayah tengah dan utara. Tidak lupa negara merdeka bagi suku Kurdi di Irak, Syiah di selatan, sedangkan Sunni terisolasi di wilayah tengah Irak, Baghdad dan sekitarnya.
Amerika Serikat
Amerika, sebagaimana juga Israel, melihat bahwa Inggris dan Prancis sesungguhnya melakukan dua kekeliruan dalam konteks Sykes-Picot Agreement yang membagi sisa-sisa Turki Utsmani. Salah satunya adalah bahwa kesepakatan tersebut dibuat secara acak, terdorong oleh kepentingan sesaat, tanpa mengoptimalkan sekat-sekat sektarian berupa agama atau aliran keyakinan. Lantaran itu, pernyataan-pernyataan politik AS dan Israel tentang pemecahan negara-negara Arab senantiasa berangkat dari revisi terhadap Sykes-Picot Agreement itu.
Kesalahan kedua adalah terlalu sedikitnya negara yang berhasil dilahirkan lewat kesepakatan tersebut. Seharusnya, versi AS dan Israel, lebih banyak lagi jumlah negara yang lahir.
Hingga beberapa tahun terakhir, AS memiliki ambisi ekspansi yang besar, yang bertumpu pada penguasaan terhadap sumber-sumber minyak dunia yang strategis: Irak, Iran, laut Kaspia, dan negara-negara Teluk Arab. Proyek tersebut dikenal sebagai Project for the New American Century (PNAC), yang dipromotori oleh kelompok konservatif baru Yahudi yang berada di pusat kekuasaan era Bush Junior. Hanya saja proyek tersebut gagal akibat dampak dari perlawanan terhadap pendudukan AS terhadap Irak dan Afghanistan, yang menurut rencana sesungguhnya menarget lima negara lainnya.
Di tengah larutnya AS dalam berbagai invasinya, dalam rangka mewujudkan New American Century itu, mencuat banyak wacana tentang proyek AS dalam rangka pemecahan negara-negara, khususnya tentang Geater Middle East. Satu yang sangat populer adalah proposal yang diterbitkan oleh Bernard Lewis, Yahudi Inggris berkebangsaan Amerika. Dalam serangannya terhadap Irak dan Afghanistan, AS berkgerak mewujudkan visi Lewis, yang digagasnya di era 40-an. Gagasan yang diperbaruinya di awal era 80-an dan diterapkan pada awal dekade yang sama.
Proyek Lewis dalam rangka memecah negara-negara Islam dan Arab berdasar kepada tiga fondasi, sesuai perspektif AS dan Israel, yaitu perbedaan agama, sekte, dan ras. Lewis juga menuntut untuk mengubah institusi Islam dan Arab tidak lebih sebagai “bangunan yang terbuat dari kertas karton,” yang senantiasa lemah sehingga menjamin eksistensi kekuatan Yahudi.
Sejak dini, proposal Lewis menginginkan agar Irak dibagi menjadi tiga, persis dengan rencana Yahudi yang disinggung sebelumnya. Sedangkan Suriah menjadi empat bagian: Alawiyyin/Nushairiyah, dua bagian buat Sunni, dan sisanya buat Druze. Mesir diproyeksikan untuk menjadi empat bagian: Sina dan timur Delta buat kekuasaan Zionis (dalam rangka Israel Raya), utara Mesir buat Koptik Mesir dengan ibu kota Iskandariyah, selatan buat Nobian dengan pusatnya Aswan, dan sisanya buat kaum Muslim dengan ibu kotanya Kairo.
Dalam proyeksi Lewis, Sudan menjadi empat bagian: selatannya buat kelompok Nasrani dan masyarakat pagan, ujung utara buat Nobian, yang akan terkoneksi dengan Nobian di selatan Mesir; Darfur buat kaum Muslim non-Arab, sedangkan Muslim Arab di bagian tengah.
Adapun Yaman, dia bagi kepada utara dan selatan. Negara-negara Teluk menurut Lewis harus dibagi kepada negara Syiah Arab yang terletak di pantai barat Teluk Arab, yang akan mencakup selatan Irak bila kelak terpisah; utara semenanjung Arab yang digabung dengan Urdun, sebagai negara alternatif bagi bangsa Palestina, rencana yang gigih diperjuangkan oleh Ariel Sharon. Selanjutnya Lewis menginginkan agar manajemen Makkah dan Madinah dipergilirkan, hal yang juga dituntut oleh sekte Rafidhah sejak bertahun lamanya. Adapun jantung Jazirah, maka dibiarkan bagi Sunni Arab, tanpa kekuatan dan potensi kekayaan alam!
Tahun 2006, majalah Angkatan Bersenjata AS edisi Juni mengangkat sebuah artikel oleh Ralph Peters, seorang pensiunan pejabat intelijen AS, yang mengajukan proposal untuk membagi ulang negara-negara Arab dan Islam berdasar ras dan keturunan. Dia membuat peta yang disebutnya “blood borders” yang diajukannya kepada otoritas AS agar dijalankan, sebagaimana Inggris dan Prancis dengan Sykes-Picot Agreement.
Dalam peta yang dibuatnya, Peters mengulang kembali detail proyek pemecahbelahan sebelumnya yang pernah ada, khusus yang terkait dengan negara-negara Arab inti. Tapi dia menambahkan usulan sejumlah negara baru setelah negara lama yang dibubarkan.
Visi Ralph Peters dangkal dan tidak realistis. Akan tetapi dia mengungkapkan, meminjam pernyataan Abdulwahab Musayri, simpul pemikiran di kalangan pemegang kebijakan AS terhadap dunia Islam. Sebab, penulis artikel tersebut adalah seorang kolonel yang dekat dengan pemegang kebijakan di samping posisinya di institusi intelijen. Artikel tersebut juga dimuat di majalah resmi angkatan bersenjata, yang merepresentasikan kebijakan lembaga.
Kelak, proposal Peters terbukti tidak lahir dari ruang hampa. Tepat setelah perang Lebanon berkobar tahun 2006, menlu AS saat itu, Condoleezza Rice segera mengumumkan bahwa peta Timur Tengah sedang direkonstruksi! Rice menduga bahwa perang akan semakin melebar hingga ke kawasan sekitarnya, sehingga proyek tersebut akan berjalan.
Iran
Ketika revolusi Iran pecah yang disusul oleh perang berdarah Iran-Irak, yang berlangsung selama delapan tahun di bawah dukungan Barat, beberapa tuntutan mengemuka untuk merebut kembali wilayah yang dicaplok Iran, seperti Shatt al-Arab, Arabistan, dan pulau-pulau Emirat Arab. Khomeini saat itu menjawab: “Jika kalian menginginkan daerah tersebut karena merupakan daerah Arab secara historis, maka sesungguhnya Imperium Persia, dalam sejarahnya, membentang dari Khurasan (Iran dan Afghanistan) hingga Yaman!”
Beberapa dekade setelah pernyataan itu, konspirasi Revolusi Iran terhadap kawasan Khurasan hingga Yaman tidak pernah berhenti. Di Yaman, pengaruh Syiah-Persia di wilayah utara menjadi ancaman serius bagi seluruh semenanjung Arab.
Boleh jadi Iran tidak memiliki rencana yang dibuka ke publik, sebagimana kasus Israel dan AS, apalagi karena Syiah bertumpu kepada doktrin “taqiyah” yang merambah sampai ke urusan politik. Akan tetapi jelas bahwa Iran mengambil keuntungan dari setiap proyek pemecahbelahan yang lain. Baik itu lewat kolaborasi langsung, atau keuntungan tidak langsung. Karena setiap kali posisi Ahlus Sunnah melemah, maka akan menambah defisit kekuatan Iran, rival historis Ahlus Sunnah sejak Shafawiyah mengintrodusir Syiahisme ke negeri Faris.
Irak, yang diumumkan oleh Israel akan dipecahbelah sejak empat dekade lewat, tidak hanya direngkuh sepertiga bagiannya, yang kaya sumber daya alam, oleh Syiah. Bahkan seluruh daerah Irak sesungguhnya telah jatuh ke dalam kekuasaan Syiah, lewat koalisi semu dan dengan tokoh sekuler yang menjadi kaki tangannya. Lebanon, yang sebelumnya diproyeksikan akan dibagi menjadi delapan bagian berdasar kelompok sekte, telah dikuasai seluruhnya oleh Syiah yang pro-Iran, dalam gerakan yang mirip kudeta politik.
Jika Yaman diwacanakan terbagi kepada utara dan selatan yang terpisah, maka proyek Syiah mencakup keduanya. Iran bermain di belakang kemarahan kelompok separatis di selatan Yaman, sambil mendukung gerakan di utara Yaman yang bersuara menuntut persamaan. Itu dilakukannya dengan blow up media yang sitematis dan tanpa henti terhadap gerakan Houthi.
Gerakan separatis di Bahrain telah melampau batas obsesi, menjadi serakah. Iran tidak hanya menginginkan salah satu laut Bahrain, tapi kedua-duanya. Menjadi sebuah republik Syiah revolusioner yang pertama di Teluk Arab yang Sunni. Yang akan menjadi “magnet” bagi “republik-republik” Syiah selanjutnya.
Suriah dewasa ini menjadi buah bibir proyek pemecahbelahan pasca rezim Ba’ath-Nushairiyah. Peta lama menginginkan wilayah utara dengan ibu kota Latakia diserahkan kepada Nushairiyah (Alawiyah). Adapun Iran, berusaha keras untuk tidak menyia-nyiakan momentum demi menjamin kepentingannya berupa jalur masuk lewat Laut Tengah, melalui sebuah negera boneka kecil yang dihuni kelompok Nushairiyah. Negara bentukan Rafidhah tersebut akan menjadi duri abadi di jantung wilayah Syam (Islam-Sunni).
Iran bertaruh dengan semua proyek pemecahbelahan yang mengacu kepada faktor sektarianisme aliran. Di samping berusaha mencabut bagian-bagian dari wilayah Ahlus Sunnah yang berpenduduk mayoritas Syiah, Iran juga tidak ketinggalan menanamkan pengaruhnya di negeri-negeri mayoritas Sunni lainnya. Upaya infiltrasi dilakukan Iran secara intensif di Mesir, Palestina, Sudan, dan banyak negara Afrika dan Asia.
Artikel ini tidak mampu menyorot semua bahasan terkait proyek krusial pemecahbelahan yang terjadi di negeri-negeri Islam. Apa yang diketengahkan tidak lebih merupakan garis besarnya saja. Paparan yang lebih rinci akan dikemuakakan pada tulisan yang lain, dengan izin Allah. (Ip)