Mengembalikan Fungsi Dinar dan Dirham, Mungkinkah..?

Nampaknya masa depan dinar dan dirham sebagai simpanan yang paling berharga, akan segera kembali. Dinar dan dirham akan menggantikan fungsi uang kertas, seiring dengan keruntuhan sistem perbankan berbasis riba.

Hal ini dapt diprediksi dengan tumbuh kembangnya semangat kaum Muslimin untuk mengamalkan sistem ekonomi Islam atau ekonomi syariah, yang mau tidak mau mesti berbasiskan dinar dan dirham. Hingga dalam muamalah mewujudkannya sebagai mata uang juga sudah banyak diwacanakan.

Zaim Saidi, Direktur Wakala Induk Nusantara yang mengelola JAWARA (Jaringan Wirausahawan dan Pengguna Dinar Dirham) mengatakan, realitas menunjukkan bahwa nilai tukar uang kertas dari waktu ke waktu mengalami penurunan nilai.

Artinya, menurutnya, setiap tahun semua terus-menerus dipermiskin. Persoalannya bukan karena nilai mata uang yang terus menurun. Melainkan karena sistemnya yakni pemakaian uang kertas.

“Setiap hari semua orang berurusan dengan uang. Sementara uang yang sulit dicari tersebut ternyata begitu mudahnya dibelanjakan. Uang kertas adalah kertas dengan gambar tertentu yang nilai nominalnya ditentukan oleh negara, artinya  melalui keputusan politik,” ujarnya.

Zaim Saidi, menambahkan dalam bukunya “Kembali ke Dinar Tinggalkan Riba Tegakkan Muamalah”, menguraikan, bahwa uang dapat bermetamorfosa, mulai dari koin emas menjadi janji utang dan akhirnya menjadi janji palsu.

Sejak 5.000 tahun lalu manusia telah menggunakan emas dan perak. Kemudian berkembang menjadi koin emas perak. Selanjutnya muncul surat janji tukar uang kertas sebagai wakil emas dan perak yang disimpan (dalam dollar AS tahun 1922). Hingga akhirnya surat janji tukar berubah menjadi surat janji kosong yang tidak bernilai (tidak dapat ditukarkan kembali menjadi emas dan perak. dollar AS tahun 1934 hingga kini).

Penetapan Rasulullah

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menetapkan emas dan perak sebagai uang. Beliau hanya menjadikan emas dan perak sajalah sebagai standar uang. Standar barang dan tenaga akan dikembalikan kepada standar tersebut.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membuat standar uang ini dalam bentuk ‘uqiyyah, dirham, daniq, qirath, mitsqal dan dinar. Semua itu sudah dikenal dan sangat masyhur pada masa Nabi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan masyarakat saat itupun telah menggunakannya dalam melakukan transaksi muamalah.

Nabi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  telah menentukan berat emas dan perak tersebut dengan berat tertentu yaitu timbangan penduduk Makkah.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan bahwa timbangan tersebut adalah timbangan penduduk Makkah. (H.R. Abu Dawud).

Adapun standar mata uang Dinar dan Dirham disimpulkan 1 Dinar = 4,25 gram emas. Sedangkan 1 Dirham = 3 gram perak murni. Lalu, 1 ‘uqiyyah = 40 Dirham, 1 Dirham = 6 Daniq, 1 Dinar = 20 qirath, dan 10 Dirham = 7 mitsqal.

Semua ini telah ditetapkan dalam timbangan-timbangan penduduk Madinah.

Dinar dan Dirham juga telah disyari’atkan sebagai standar batas nishab zakat maal, pembayaran Diyat atas pembunuhan dan standar ditegakkannya hukum potong tangan bagi pencuri.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun sudah menyebutkan bahwa kelak suatu saat dinar dan dirham akan berfungsi kembali sebagai alat kemudahan yang sangat bermanfaat.

Seperti dalam sabdanya, “Akan datang suatu jaman kepada manusia. Barangsiapa yang tidak mempunyai uang kuning (Dinar) dan juga uang putih (Dirham), maka tidak akan mendapatkan kemudahan dalam kehidupan.” (H.R. Ath-Thabrani).

Juga sabdanya, “Akan datang kepada manusia, suatu masa yang mana tidak bermanfaat di masa itu kecuali Dinar dan Dirham.”  (HR. Ahmad: 16569 dari Miqdam bin Madikarib radliyallahu anhu.

Tantangan Global

Keberadaan mata uang Dinar dan Dirham saat ini memang masih sebatas pada penggunaan dalam ruang lingkup komunitas, mahar pernikahan ataupun sebagai simpanan. Masih jauh dari harapan sebagai mata uang.

Penggunaan Dinar dan Dirham tersebut secara global tentu memang akan berhadapan dengan lembaga keuangan Internasional IMF (Internasional Monetary Fund) dan Bank Dunia (World Bank), yang dimotori oleh Yahudi Internasional. Maka, dominasi mata uang dunia pun dikuasai mereka melalui kekuatan global uang kertas kertas dollar AS.

Kekuatan global itu memang harus dihadapi dengan kekuatan global Islam, sebagai agama yang memerintahkan penyebaran pemakmuran dan penyejahteraan bumi serta rahmat bagi semesta alam.

Dan itu hanya akan dapat direalisasikan secara bertahap melalui potensi kepemimpinan dunia Islam dalam Khilafah yang mengikuti sistem kenabian (Khilafah ‘Alaa Minhaajin Nubuwwah).

Sebab, hanya dengan kekuatan Khilafah itulah sistem moneter yang syar‘î (dinar dan dirham) dapat diwujudkan.

Untuk itu, dimulai dari kebutuhan umat Islam akan dinar dan dirham yang harus terus ditingkatkan dalam rangka menjaga kekayaan umat dan memenuhi kebutuhan pada masa yang akan datang, bukan untuk menumpuk-numpuk harta (kanzul maal).

Harapannya, tentu umat Islam sedikit demi sedikit meningkatkan cadangan emas (dinar) dan perak (dirham), serta kegiatan lain misalnya memasyarakatkan mahar (mas kawin) dengan dinar dan dirham.

Sehingga seperti disebutkan praktisi dinar dan dirham, Muhaimin Iqbal, mantan Ketua Umum Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI), bahwa mata uang kertas yang kini dipakai di seluruh dunia memang sangat rentan, karena begitu mudahnya mengalami fluktuatif.

Tidak ada acara lain, katanya, kecuali kembali kepada dinar dan dirham. Dan bukan semata dilihat dari sisi ekonomi. Namun justru yang lebih penting adalah sebagai bagian dari upaya menegakkan salah satu sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Tidak serta merta tentu saja, tapi perlu kerja keras yang tak pernah lelah dalam sosialisasi dinar-dirham melalui tulisan, ceramah, seminar, maupun internet.

Dan yang jelas, di beberapa komunitas seperti Gerai Dinar, sekarang sudah mulai marak dan akrab dikenal, dengan adanya gerakan dinar-dirham untuk wakaf, penjagaan nilai aset, mas kawin, investasi, zakat, dan lain-lain. (P4/P2)




Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Mi’raj Islamic News Agency (MINA)