Berita Islam Terkini, Jakarta – Kematian Siyono, warga Klaten, di tangan Densus 88 pada pertengahan Maret (ralat) 2016 lalu akhirnya mengungkap kebrutalan operasi kontraterorisme di Indonesia.
Belakangan, diketahui bahwa selain melakukan pembunuhan di luar pengadilan (extra judicial killing), Densus 88 juga melakukan penghilangan orang secara paksa.
Direktur Eksekutif Front Perlawanan Penculikan (FPP) Khalid Syaifullah menegaskan pihaknya pernah mengadvokasi kasus orang hilang sejak tahun 2004 lalu.
“Kita pernah menemukan fakta ada sesorang yang bernama Qotadah alias Abu Mukhlisun. Dia keluar rumah sejak 29 Juni 2004. Kemudian, ditangkap Densus 88 pada 30 Juni 2004 di Sukoharjo. Sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya,” ujar Khalid kepada Kiblat.net, belum lama ini.
FPP kemudian mengadvokasi keluarga Qotadah kepada sejumlah pihak. Mereka mendatangi Komnas HAM, Komisi III DPR RI dan Polda Jawa Tengah untuk meminta kejelasan soal status dan keberadaan Qotadah. Proses advokasi tersebut telah berlangsung sejak tahun 2004, namun mereka tak pernah mendapatkan jawaban dari pihak terkait.
Menanggapi hal ini, Direktur An-Nasr Institute Munarman menilai dalam kasus Qotadah, terjadi kejahatan kemanusiaan berupa penghilangan orang secara paksa.
“Jadi, kalau kita ikuti UU No.26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia, maka yang disebut kejahatan kemanusiaan itu memiliki 9 bentuk. Di antaranya itu extrajudicial killing, seperti pada kasus Siyono. Kemudian pengusiran secara paksa, penangkapan sewenang-wenang, dan kemudian juga yang terjadi dalam kasus Qotadah ini penghilangan orang secara paksa,” kata dia.
Munarman menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Densus 88 selama ini dalam operasi kontraterorisme bukan cuma satu bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan, tetapi sudah berbagai macam bentuk. Jika demikian, maka proses penyelesaiannya bukan lagi menggunakan mekanisme seperti sidang etika atau sidang profesi. Pasalnya, hal itu hanya terkait perilaku satu atau dua orang oknum kesatuan Densus 88.
“Tapi ini satu kejahatan yang bersifat sistematis dan meluas. Karena apa yang dilakukan oleh Densus ini mendapatkan perlindungan dan direncanakan secara terstruktur. Kemudian meluas, ini pelanggarannya bukan di satu tempat saja,” jelas Munarman.
Ia juga menambahkan, sekarang sudah saatnya menggulirkan kampanye informasi kepada masyarakat luas bahwa Densus 88 telah melakukan pelanggaran HAM berat.(kn)
Belakangan, diketahui bahwa selain melakukan pembunuhan di luar pengadilan (extra judicial killing), Densus 88 juga melakukan penghilangan orang secara paksa.
Direktur Eksekutif Front Perlawanan Penculikan (FPP) Khalid Syaifullah menegaskan pihaknya pernah mengadvokasi kasus orang hilang sejak tahun 2004 lalu.
“Kita pernah menemukan fakta ada sesorang yang bernama Qotadah alias Abu Mukhlisun. Dia keluar rumah sejak 29 Juni 2004. Kemudian, ditangkap Densus 88 pada 30 Juni 2004 di Sukoharjo. Sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya,” ujar Khalid kepada Kiblat.net, belum lama ini.
FPP kemudian mengadvokasi keluarga Qotadah kepada sejumlah pihak. Mereka mendatangi Komnas HAM, Komisi III DPR RI dan Polda Jawa Tengah untuk meminta kejelasan soal status dan keberadaan Qotadah. Proses advokasi tersebut telah berlangsung sejak tahun 2004, namun mereka tak pernah mendapatkan jawaban dari pihak terkait.
Menanggapi hal ini, Direktur An-Nasr Institute Munarman menilai dalam kasus Qotadah, terjadi kejahatan kemanusiaan berupa penghilangan orang secara paksa.
“Jadi, kalau kita ikuti UU No.26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia, maka yang disebut kejahatan kemanusiaan itu memiliki 9 bentuk. Di antaranya itu extrajudicial killing, seperti pada kasus Siyono. Kemudian pengusiran secara paksa, penangkapan sewenang-wenang, dan kemudian juga yang terjadi dalam kasus Qotadah ini penghilangan orang secara paksa,” kata dia.
Munarman menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Densus 88 selama ini dalam operasi kontraterorisme bukan cuma satu bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan, tetapi sudah berbagai macam bentuk. Jika demikian, maka proses penyelesaiannya bukan lagi menggunakan mekanisme seperti sidang etika atau sidang profesi. Pasalnya, hal itu hanya terkait perilaku satu atau dua orang oknum kesatuan Densus 88.
“Tapi ini satu kejahatan yang bersifat sistematis dan meluas. Karena apa yang dilakukan oleh Densus ini mendapatkan perlindungan dan direncanakan secara terstruktur. Kemudian meluas, ini pelanggarannya bukan di satu tempat saja,” jelas Munarman.
Ia juga menambahkan, sekarang sudah saatnya menggulirkan kampanye informasi kepada masyarakat luas bahwa Densus 88 telah melakukan pelanggaran HAM berat.(kn)