Peneliti Madya Kajian Stratejik Intelijen Kampus Indonesia, Ridlwan Habib menilai pro-kontra siapa yg paling berjasa dalam pembebasan 10 WNI yang ditawan militan Abu Sayyaf cukup lumrah. Cuma saja, beberapa petugas yang bekerja di lapangan sudah terbiasa dengan prinsip operasi senyap yang jauh dari sorotan media.
“Prinsip dari teman-teman yang bekerja di lapangan yaitu kredo-kredo operasi senyap. Kredo operasi senyap itu ya berhasil tak dipuji, mati tak disadari, gagal dicaci maki, ” terang Ridlwan pada Kiblat. net melalui sambungan telepon, beberapa waktu lalu.
Ridlwan menekankan, dalam masalah ini, operasi diplomasi serta operasi intelijen lebih dikedepankan ketimbang operasi militer.
“Ada dua kendala utama. Masalah pertama yaitu masalah prosedural resmi, ialah operasi militer itu mesti mendapatkan persetujuan dari pemerintah Filipina. Persetujuan itu juga harus disetujui oleh parlemen atau senat. Ini begitu rumit serta ini membutuhkan sistem yang begitu panjang, ” imbuhnya.
Mengenai, masalah yang kedua adalah kendala tehnis yang berbentuk taktis. Berarti, lokasi kesepuluh sandera itu dalam posisi koordinat yang dipisah-pisah. Setidaknya, Ridlwan menuturkan ada empat titik korrdinat. Jadi, bila dikerjakan operasi ekstraksi militer mesti dilakukan waktu itu juga, pada jam yang sama, pada
empat titik yang berbeda. “Ini almost immposible (hampir tidak mungkin), ” kata pengamat intelijen ini.
Dilanjutkannya, operasi militer untuk pembebasan sandera mungkin jadi pilihan yangdiambil, tapi kemungkinan ada sandera yang meninggal begitu besar.
Berkaitan empat sandera yang tersisa dalam tawanan milisi Abu Sayyaf, Ridlwan menegaskan kalau mereka juga prioritas. Ke empat sandera ini dapat mesti diprioritaskan dengan segala cara, terlebih lewat pendekatan dialogis, negosiasi tradisional, dan pendekatan-pendekatan kesukuan.
Ia juga menjelaskan ada peluang kalau ke empat WNI yang masihlah disandera ini dibawa oleh faksi Abu Sayyaf yang tidak sama. Seperti di ketahui militan Islam di Filipina terdiri ke dalam beberapa faksi seperti MILF, MNLF, BIFF. Sesaat Abu Sayyaf adalah salah satu pecahan dari beberapa faksi besar pejuang Islam Filipina.
Ridlwan melihat, pendekatan dialogis dalam usaha pembebasan sandera yang ditawan Abu Sayyaf begitu utama. Pasalnya, mereka lihat juga warga yang disandera ini siapa, asalnya dari mana, lalu sukunya apa, dan apa agamanya.
Kemudian, para militan itu juga berhitung apakah negara asal sandera itu dalam perseteruan Filipina selatan itu pro-pemerintah Manila atau tak. Dalam soal ini, pemerintah Indonesia dinilai miliki pertalian yang cukup baik dengan pejuang Filipina selatan.
“Bertahun-tahun Umar Patek sembunyi di sana. Dulmatin juga sembunyi disana. Dahulu mujahidin-mujahidin alumni Ambon, Poso latihannya di Moro. Rekan-rekan Sri Rezeki, th. 2003, Yusuf serta kawan-kawan belajar buat bom lontong di sana. Jadi, posisinya sangat akrab secara geo-politik, ada kedekatan, ” terang Ridlwan.
Dilanjutkannya, itulah faktor yang membedakan sikap pejuang Abu Sayyaf saat memperlakukan sandera asal Indonesia dengan sandera asal Kanada. Sebab, Kanada tak memiliki koneksi yang bagus dengan Filipina. (rs)
“Prinsip dari teman-teman yang bekerja di lapangan yaitu kredo-kredo operasi senyap. Kredo operasi senyap itu ya berhasil tak dipuji, mati tak disadari, gagal dicaci maki, ” terang Ridlwan pada Kiblat. net melalui sambungan telepon, beberapa waktu lalu.
Ridlwan menekankan, dalam masalah ini, operasi diplomasi serta operasi intelijen lebih dikedepankan ketimbang operasi militer.
“Ada dua kendala utama. Masalah pertama yaitu masalah prosedural resmi, ialah operasi militer itu mesti mendapatkan persetujuan dari pemerintah Filipina. Persetujuan itu juga harus disetujui oleh parlemen atau senat. Ini begitu rumit serta ini membutuhkan sistem yang begitu panjang, ” imbuhnya.
Mengenai, masalah yang kedua adalah kendala tehnis yang berbentuk taktis. Berarti, lokasi kesepuluh sandera itu dalam posisi koordinat yang dipisah-pisah. Setidaknya, Ridlwan menuturkan ada empat titik korrdinat. Jadi, bila dikerjakan operasi ekstraksi militer mesti dilakukan waktu itu juga, pada jam yang sama, pada
empat titik yang berbeda. “Ini almost immposible (hampir tidak mungkin), ” kata pengamat intelijen ini.
Dilanjutkannya, operasi militer untuk pembebasan sandera mungkin jadi pilihan yangdiambil, tapi kemungkinan ada sandera yang meninggal begitu besar.
Berkaitan empat sandera yang tersisa dalam tawanan milisi Abu Sayyaf, Ridlwan menegaskan kalau mereka juga prioritas. Ke empat sandera ini dapat mesti diprioritaskan dengan segala cara, terlebih lewat pendekatan dialogis, negosiasi tradisional, dan pendekatan-pendekatan kesukuan.
Ia juga menjelaskan ada peluang kalau ke empat WNI yang masihlah disandera ini dibawa oleh faksi Abu Sayyaf yang tidak sama. Seperti di ketahui militan Islam di Filipina terdiri ke dalam beberapa faksi seperti MILF, MNLF, BIFF. Sesaat Abu Sayyaf adalah salah satu pecahan dari beberapa faksi besar pejuang Islam Filipina.
Ridlwan melihat, pendekatan dialogis dalam usaha pembebasan sandera yang ditawan Abu Sayyaf begitu utama. Pasalnya, mereka lihat juga warga yang disandera ini siapa, asalnya dari mana, lalu sukunya apa, dan apa agamanya.
Kemudian, para militan itu juga berhitung apakah negara asal sandera itu dalam perseteruan Filipina selatan itu pro-pemerintah Manila atau tak. Dalam soal ini, pemerintah Indonesia dinilai miliki pertalian yang cukup baik dengan pejuang Filipina selatan.
“Bertahun-tahun Umar Patek sembunyi di sana. Dulmatin juga sembunyi disana. Dahulu mujahidin-mujahidin alumni Ambon, Poso latihannya di Moro. Rekan-rekan Sri Rezeki, th. 2003, Yusuf serta kawan-kawan belajar buat bom lontong di sana. Jadi, posisinya sangat akrab secara geo-politik, ada kedekatan, ” terang Ridlwan.
Dilanjutkannya, itulah faktor yang membedakan sikap pejuang Abu Sayyaf saat memperlakukan sandera asal Indonesia dengan sandera asal Kanada. Sebab, Kanada tak memiliki koneksi yang bagus dengan Filipina. (rs)