MASALAH makan di tempat umum ketika Ramadhan selalu saja jadi topik yang tak pernah usang bagi masyarakat Indonesia tercinta. Soal etis atau tidaknya. Soal siapa yang harus dihormati: yang berpuasa atau yang tidak berpuasa. Dan seterusnya.
Alhamdulillah hal itu nggak jadi masalah bagi keluarga kami. Akibat “salah perhitungan” ketika membeli tiket mudik, maka kami akan menghabiskan bulan Ramadhan sepenuhnya di Norwegia. Bahkan kemungkinan kami akan tiba di tanah air pada malam takbiran atau hari pertama Lebaran.
Keuntungan berpuasa jauh di tanah air adalah ketiadaan godaan bernama makanan yang melimpah, baik di meja makan sendiri, bazar Ramadhan, pusat perbelanjaan, restoran, atau warung.
Memang kalau kami jalan ke pusat kota di sini, semua restoran dan kafe buka. Bahkan, para pengunjung juga menikmati makanan dan minuman mereka di luar restoran, sambil menikmati matahari musim panas. Belum lagi banyak orang lalu-lalang sambil menikmati es krim atau minuman dingin.
Tapi ya, sebatas itu saja. Godaan itu tak ada apa-apanya dibandingkan situasi berpuasa di tanah air. Kami juga tak merasa lapar atau haus berlebihan, karena meski namanya musim panas, tapi temperaturnya tak pernah melebihi 20 Celcius. Masih adem dan menyenangkan untuk puasa berdurasi panjang. Alhamdulillah.
Di Indonesia sungguh berbeda. Saya menyebutnya kontras dan ironis. Pemandangan yang sama saya dapati setiap jalan ke pusat keramaian di waktu Ramadhan. Tempat makan tetap buka. Ada yang tertutup tirai, ada yang terbuka blak-blakan. Yang makan di sana pun beragam manusianya.
Kalau ada wanita berkerudung makan siang di bulan puasa, kita otomatis bisa berprasangka baik bahwa dia sedang berhalangan.
Tapi aneh dan ajaibnya (setidaknya demikian yang saya dapati ketika mudik tahun lalu), tak sedikit wanita berkerudung yang makan siang bersama pasangannya (lelaki). Wallaahu a’lam.
Fatih beberapa kali bertanya heran, kenapa banyak orang dewasa yang nggak puasa? Apa mereka nggak malu sama anak kecil yang puasa (seperti dirinya)? Mak jleb!
Ketika kami tinggal di Kuala Lumpur dulu, restoran dan kafe memang tetap buka. Tapi yang makan di sana kebanyakan anak-anak, wanita berkerudung (yang semoga memang sedang berhalangan), dan mereka yang berwajah oriental atau India. Para lelaki berwajah Melayu yang duduk di sana biasanya hanya menemani saja. Itupun mereka tampak agak risih duduk-duduk di restoran di jam puasa.
Tahun ini saya memang tak bisa menyelami langsung. Tapi lewat tayangan TV atau pemberitaan media, saya tahu bahwa situasinya masih belum berubah. Yang paling mutakhir, ya, razia warung Bu Saeni di Serang tempohari. Soal penggerebekan ini saya tak akan bahas, karena sudah banyak ahli yang membahas. Lagipula saya juga cuma tahu informasinya secara sepotong. Jadi tak berani saya berpendapat lebih jauh. Cuma bisa ikut senang dengan rizki Bu Saeni berkat kekompakan netizen yang mengumpulkan donasi sampai seratusan juta untuk beliau. Bagaimana pun caranya, yang namanya rizki nggak akan pernah tertukar.
Dan saya hanya bisa berdoa semoga peristiwa itu bisa diambil hikmahnya oleh kita semua.
***
Jadi, perlukah kita (muslim dan non-muslim yang tinggal di negara mayoritas muslim) merasa malu ketika makan di tempat umum pada bulan Ramadhan?
Menurut saya, sebaiknya perlu. Terlebih di Indonesia yang jumlah muslimnya terbesar di dunia. Dan seluruh rakyat Indonesia, muslim atau bukan, tahu apa makna bulan Ramadhan.
Nggak ada salahnya bukan, kita semua belajar menahan diri untuk tidak terang-terangan makan ketika orang lain sedang berpuasa? Bukan berarti yang tidak berpuasa (non-muslim atau mereka yang punya udzur syar’i atau anak-anak) tidak boleh makan di tempat umum. Hak mereka tentu harus dihormati. Bisa toh, mereka mengonsumsi makanan yang mereka beli itu di tempat tertutup atau pribadi? Saya yakin bisa saja.
Karena di alam demokrasi, hak seseorang juga dibatasi oleh hak orang lain. Dalam hal ini hak orang berpuasa untuk dihormati.
Bukan masalah kekuatan iman, ya. Katanya, kalau imannya kuat, biarpun makanan lewat di depan hidungnya, ya tetap puasa saja.
Ini mungkin berlaku buat muslim minoritas di mana kaum minoritas nggak ngeh apa itu Ramadhan.
Kalau di Indonesia dan negara muslim lainnya?
Masalahnya, di Indonesia ini bukan cuma non-muslim dan muslim yang dapat keringanan saja yang tidak berpuasa Ramadhan. Para lelaki muda, kuat, dan sehat pun banyak sekali yang dengan sengaja meninggalkannya, dengan atau tanpa alasan.
Mungkin yang muslimah juga ada yang begitu, tapi harus ditanya langsung, karena kondisinya nggak segamblang para pria muslim muda, kuat, dan sehat itu.
Ini salahnya di mana, ya? Prihatin juga saya memikirkannya. Perlu edukasi dan pencerahan yang lebih nampaknya.
***
Anyway, saya yakin kita dan keluarga kita tidak termasuk golongan yang meremehkan Ramadhan. Bulan yang datangnya cuma setahun sekali, masak dijalani sama saja dengan 11 bulan lainnya? Saya yakin tidak.
Bersyukurlah kalau kita termasuk kelompok yang memuliakan Ramadhan. Kelompok yang kuat iman sekaligus bertoleransi pada hak orang lain yang tidak berpuasa.
Tugas kita, terutama para ibu (karena sepertinya para pembaca dan komentator status-status saya adalah kaum ibu / calon ibu), adalah memperkuat landasan iman diri sendiri dan keluarga. Ingatlah bahwa kita sedang mempersiapkan generasi penerus yang beriman dan tangguh.
Saya teringat pesan Fatih, “Kalau Bunda lagi ‘libur’, makannya jangan pas ada aku, ya. Nanti aku jadi kepingin”.
Dan saya pun jadi merasa malu kalau makan di depan anak dan suami ketika mereka sedang berpuasa.
Menguatkan fisik dan mental anak-anak kita ini yang harus jadi fokus. Karena merekalah yang masih lentur untuk dibimbing.
Itu saja. Semoga berkenan. [ip]
Alhamdulillah hal itu nggak jadi masalah bagi keluarga kami. Akibat “salah perhitungan” ketika membeli tiket mudik, maka kami akan menghabiskan bulan Ramadhan sepenuhnya di Norwegia. Bahkan kemungkinan kami akan tiba di tanah air pada malam takbiran atau hari pertama Lebaran.
Keuntungan berpuasa jauh di tanah air adalah ketiadaan godaan bernama makanan yang melimpah, baik di meja makan sendiri, bazar Ramadhan, pusat perbelanjaan, restoran, atau warung.
Memang kalau kami jalan ke pusat kota di sini, semua restoran dan kafe buka. Bahkan, para pengunjung juga menikmati makanan dan minuman mereka di luar restoran, sambil menikmati matahari musim panas. Belum lagi banyak orang lalu-lalang sambil menikmati es krim atau minuman dingin.
Tapi ya, sebatas itu saja. Godaan itu tak ada apa-apanya dibandingkan situasi berpuasa di tanah air. Kami juga tak merasa lapar atau haus berlebihan, karena meski namanya musim panas, tapi temperaturnya tak pernah melebihi 20 Celcius. Masih adem dan menyenangkan untuk puasa berdurasi panjang. Alhamdulillah.
Di Indonesia sungguh berbeda. Saya menyebutnya kontras dan ironis. Pemandangan yang sama saya dapati setiap jalan ke pusat keramaian di waktu Ramadhan. Tempat makan tetap buka. Ada yang tertutup tirai, ada yang terbuka blak-blakan. Yang makan di sana pun beragam manusianya.
Kalau ada wanita berkerudung makan siang di bulan puasa, kita otomatis bisa berprasangka baik bahwa dia sedang berhalangan.
Tapi aneh dan ajaibnya (setidaknya demikian yang saya dapati ketika mudik tahun lalu), tak sedikit wanita berkerudung yang makan siang bersama pasangannya (lelaki). Wallaahu a’lam.
Fatih beberapa kali bertanya heran, kenapa banyak orang dewasa yang nggak puasa? Apa mereka nggak malu sama anak kecil yang puasa (seperti dirinya)? Mak jleb!
Ketika kami tinggal di Kuala Lumpur dulu, restoran dan kafe memang tetap buka. Tapi yang makan di sana kebanyakan anak-anak, wanita berkerudung (yang semoga memang sedang berhalangan), dan mereka yang berwajah oriental atau India. Para lelaki berwajah Melayu yang duduk di sana biasanya hanya menemani saja. Itupun mereka tampak agak risih duduk-duduk di restoran di jam puasa.
Tahun ini saya memang tak bisa menyelami langsung. Tapi lewat tayangan TV atau pemberitaan media, saya tahu bahwa situasinya masih belum berubah. Yang paling mutakhir, ya, razia warung Bu Saeni di Serang tempohari. Soal penggerebekan ini saya tak akan bahas, karena sudah banyak ahli yang membahas. Lagipula saya juga cuma tahu informasinya secara sepotong. Jadi tak berani saya berpendapat lebih jauh. Cuma bisa ikut senang dengan rizki Bu Saeni berkat kekompakan netizen yang mengumpulkan donasi sampai seratusan juta untuk beliau. Bagaimana pun caranya, yang namanya rizki nggak akan pernah tertukar.
Dan saya hanya bisa berdoa semoga peristiwa itu bisa diambil hikmahnya oleh kita semua.
***
Jadi, perlukah kita (muslim dan non-muslim yang tinggal di negara mayoritas muslim) merasa malu ketika makan di tempat umum pada bulan Ramadhan?
Menurut saya, sebaiknya perlu. Terlebih di Indonesia yang jumlah muslimnya terbesar di dunia. Dan seluruh rakyat Indonesia, muslim atau bukan, tahu apa makna bulan Ramadhan.
Nggak ada salahnya bukan, kita semua belajar menahan diri untuk tidak terang-terangan makan ketika orang lain sedang berpuasa? Bukan berarti yang tidak berpuasa (non-muslim atau mereka yang punya udzur syar’i atau anak-anak) tidak boleh makan di tempat umum. Hak mereka tentu harus dihormati. Bisa toh, mereka mengonsumsi makanan yang mereka beli itu di tempat tertutup atau pribadi? Saya yakin bisa saja.
Karena di alam demokrasi, hak seseorang juga dibatasi oleh hak orang lain. Dalam hal ini hak orang berpuasa untuk dihormati.
Bukan masalah kekuatan iman, ya. Katanya, kalau imannya kuat, biarpun makanan lewat di depan hidungnya, ya tetap puasa saja.
Ini mungkin berlaku buat muslim minoritas di mana kaum minoritas nggak ngeh apa itu Ramadhan.
Kalau di Indonesia dan negara muslim lainnya?
Masalahnya, di Indonesia ini bukan cuma non-muslim dan muslim yang dapat keringanan saja yang tidak berpuasa Ramadhan. Para lelaki muda, kuat, dan sehat pun banyak sekali yang dengan sengaja meninggalkannya, dengan atau tanpa alasan.
Mungkin yang muslimah juga ada yang begitu, tapi harus ditanya langsung, karena kondisinya nggak segamblang para pria muslim muda, kuat, dan sehat itu.
Ini salahnya di mana, ya? Prihatin juga saya memikirkannya. Perlu edukasi dan pencerahan yang lebih nampaknya.
***
Anyway, saya yakin kita dan keluarga kita tidak termasuk golongan yang meremehkan Ramadhan. Bulan yang datangnya cuma setahun sekali, masak dijalani sama saja dengan 11 bulan lainnya? Saya yakin tidak.
Bersyukurlah kalau kita termasuk kelompok yang memuliakan Ramadhan. Kelompok yang kuat iman sekaligus bertoleransi pada hak orang lain yang tidak berpuasa.
Tugas kita, terutama para ibu (karena sepertinya para pembaca dan komentator status-status saya adalah kaum ibu / calon ibu), adalah memperkuat landasan iman diri sendiri dan keluarga. Ingatlah bahwa kita sedang mempersiapkan generasi penerus yang beriman dan tangguh.
Saya teringat pesan Fatih, “Kalau Bunda lagi ‘libur’, makannya jangan pas ada aku, ya. Nanti aku jadi kepingin”.
Dan saya pun jadi merasa malu kalau makan di depan anak dan suami ketika mereka sedang berpuasa.
Menguatkan fisik dan mental anak-anak kita ini yang harus jadi fokus. Karena merekalah yang masih lentur untuk dibimbing.
Itu saja. Semoga berkenan. [ip]