Artikel sebelumnya.
Biadabnya “Sang Mujtahid”
Dalam wawancara yang dilakukan oleh Tempo kepada Haris Azhar dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) terungkap bahwa sepanjang tahun 2013 saja Densus 88 sudah melakukan 29 kali pelanggaran HAM. Pelanggaran itu dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya melakukan upaya berlebihan sehingga jarang ada teroris yang ditangkap hidup-hidup. Tim Densus 88 juga disebut kerap salah tembak. ”Seperti kasus yang menimpa Sujono,” kata Haris. Sujono adalah korban salah tembak anggota Tim Densus dalam penyergapan teroris di Tulungagung, Jawa Timur. Gara-gara tertembak di bagian pinggang, warga Desa Karangwaru, Tulungagung, itu hingga kini tak bisa kembali bekerja sebagaimana biasa.
Haris menambahkan, Densus 88 juga tidak jarang salah menangkap seseorang yang disebut tertuduh teroris. Kejadian tak enak itu sempat dialami dua warga lereng Gunung Wilis, Tulungagung: Mugi Hartanto dan Sapari. Dua warga dari Desa Pagerwojo, Tulungagung, itu akhirnya dibebaskan akhir Juli lalu setelah dinyatakan bukan teroris.
Kalau kita kembali ke tahun 2007 di Poso ramai beredar video kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan Densus 88 terhadap warga Poso yang berhasil ditangkap. Salah satunya adalah korban yang bernama Udin yang tidak lain adik kandung dari Basri, buronan Densus 88 saat itu. Udin ditangkap dalam keadaan sehat wal afiat, dibawa ke Palu dan selang sehari Densus mengembalikan Udin kepada keluarga dalam keadaan sudah tak bernyawa. September tahun 2014, Densus 88 juga menembak mati Nurdin yang saat itu sedang melakukan shalat.
Kebrutalan Densus 88 yang sudah menjadi rahasia umum, mendapat penolakan dari banyak pihak. Di antara yang menolak keras adalah Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hajriyanto Y. Tohari. Ia mengkritik aksi tembak mati yang dilakukan Densus 88 Polri terhadap para tertuduh teroris.
“Ini negara hukum, bukan negara para janggo atau negara para cowboy yang gampang mencabut senjata lalu dar der dor!,” kata Hajriyanto seperti dilansir Republika.
Belum lagi indikasi rekayasa yang dilakukan Densus 88 dalam beberapa aksinya. Indikasi rekayasa itu diungkapkan ke publik oleh pengamat terorisme Harits Abu Ulya yang juga Direktur The Community Ideological Islamic Analyst (CIIA). Misalnya dalam penembakan terduga teroris di Poso baru-baru ini. Itu hanya salah satu contoh.
Dengan kenyataan seperti ini, maka sebenarnya siapakah yang layak disebut teroris? Siapakah yang layak diposisikan layaknya mujtahid yang salah dalam memilih pilihan? Dan, pertanyaan terakhir yang belum terjawab adalah: Apakah membunuh orang Islam yang merindukan daulah Islamiyah dan khilafah atas pesanan pemerintah kafir seperti Amerika itu masih juga mendapat pahala karena dianggap ijtihad?#kiblatnet
Penulis: Miftahul Ihsan, Lc.