Biadabnya "Sang Mujtahid" (2)




Sambungan dari artikel sebelumnya

Poin berikutnya, sang ustadz seolah-olah dalam jawabannya, menganggap Densus 88 adalah sekelompk mujtahidin yang apabila salah pun tetap mendapat satu pahala. Padahal, dalam syariat Islam seorang yang membunuh tanpa sengaja (qotlul khoto’), walaupun dia tidak berdosa akan tetapi syariat membebankan untuk membayar kafarat.
Ini jika yang terjadi adalah qotlul khoto’. Secara faktual, apa yang dilakukan densus bukanlah qotlul khoto’. Bisa berupa qotlu syibhil amdi (pembunuhan yang mirip sengaja) bahkan bisa jatuh kepada qotlul amdi (pembunuhan yang disengaja) yang hukumannya adalah qishos (dibalas bunuh).
Penyamaan sang ustadz antara Densus 88 dan mujtahid jelas tidak nyambung. Mengapa?
Ijtihad adalah sebuah perkara yang tidak sembarang kepala bisa atau boleh melakukan. Muhammad Abu Zahroh dalam Ushul Fikihnya menyebutkan syarat-syarat bagi seseorang untuk bisa atau boleh berijtihad, di antaranya:
  1. Mengetahui bahasa Arab. Para ulama’ usul sepakat bahwa penting bagi seorang mujtahid mengetahui bahasa arab, karena Al-Qur’an yang dengannya syariat ini turun berbahasa Arab, dan As-Sunnah yang merupakan penjelas Al-Qur’an juga berbahasa Arab. Bagaimana dengan Densus 88?
  2. Mengetahui nasikh dan mansukh. Al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama 23 tahun, selama rentang waktu ada ayat ayat yang sudah di-mansukh (tidak berlaku lagi hukumnya). Maka jika seorang mujtahid tidak mengetahui ayat ayat yang mansukh ditakutkan dia menggunakan ayat yang mansukh padahal hukum ayat itu sudah tidak berlaku lagi. Sejauh mana Densus 88 paham nasih-mansukh?
  3. Mengetahui Ijma’ dan Khilaf. Seorang mujtahid harus menguasai ini, karena jika sudah terjadi ijma’ dalam suatu masalah maka seorang mujtahid tidak boleh lagi melakukan ijtihad. Selain itu, ijtihad hanya boleh dilakukan pada kaaus kasus yang tidak terjadi ijma’ di dalamnya. Densus 88?
  4. Mengetahui qiyas. Qiyas merupakan elemen penting dalam ijtihad. Karena dengan qiyas seorang mujtahid bisa mencari persamaan illah antara kasus yg ada di hadapannya dan perkara perkara yang sudah ada dalilnya. Qiyas memiliki rukun, syarat dan cara cara yg mana kesemua hal ini harus dikuasai oleh seorang mujtahid. Bagaimana dengan Densus 88?

Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Harus ada kriteria tertentu yang dipenuhi agar ia berhak mendapatkan sertitifikasi ijtihad. Dari empat contoh syarat ijtihad yang dipaparkan Muhammad Abu Zahroh dalam Ushulul Fiqh-nya, terlalu jauh dengan karakter, tindakan dan kehidupan sehari-hari Densus 88. Toh andaikan Densus 88 memiliki kriteria tersebut, bukan berarti memiliki legitimasi untuk sembarangan membunuh seorang Muslim. Karena darah seorang Muslim itu tak ternilai. Rusaknya dunia dan seisinya tidak lebih berarti di hadapan Allah ketimbang terbunuhnya seorang Muslim tanpa alasan yang dibenarkan.

Tudro’ul hudud bisy syubuhat

Terorisme dan teroris merupakan kata yang sering kita dengar satu dekade belakangan ini. Kata ini mulai akrab di telinga kita saat Amerika Serikat melancarkan serangan ke Taliban di Afghanistan pasca serangan WTC 11 September 2001. Istilah yang dikampanyekan oleh Amerika untuk mendapatkan simpati dunia dalam invasi tersebut adalah War on Teror. Sejak saat itu istilah ini Amerika gunakan sebagai alasan untuk setiap aksi brutal mereka terhadap negeri-negeri Muslim. Sebut saja Afghanistan, Irak, Yaman—dan yang terbaru adalah invasi mereka ke Suriah.
Namun belum ada definisi yang disepakati oleh dunia dalam memaknai kata “teror” itu sendiri. Sehingga dalam memaknai kata teror itu sendiri kembali kepada subyektifitas pihak yang berkepentingan. Madzhab penyematan istilah terorisme adalah mazhab “suka-suka” oleh pemangku mandat untuk menangani terorisme, yang dalam konteks ke-Indonesiaan adalah Densus 88.
Karena tidak adanya makna yang definitif tentang apa itu terorisme, maka dakwaan terorisme atas seseorang yang didasarkan mazhab “suka-suka” tadi mengandung syubuhat. Sebab, tidak ada pijakan yang jelas apa yang dimaksud dengan terorisme. Terkhusus bagi seorang alim seperti Ustadz Abu Yahya Badrussalam, apakah definisi terorisme (hirobah) dalam Al-Qur’an itu sama dengan apa yang dimaui Densus 88, BNPT atau Amerika selaku penggagas awal isu terorisme ini?
Karena kelemahan landasan tersebut, seharusnya tindakan Densus 88 yang main bunuh digugat atau setidaknya dipertanyakan. Sebab, Tudro’ul hudud bisy syubuhat. Hudud (hukum pidana Islam) tertolak dengan adanya syubhat. Seharusnya, sebelum asal menganggap tindakan Densus 88 sebagai sebuah ijtihad, ada baiknya Ust. Abu Yahya Badrussalam juga memahami apa definisi terorisme menurut mazhab suka-suka BNPT.
Selanjutnya