Oleh: DR Muslih Abdulkarim, LC
(Masjid Brimob Kelapa Dua, Depok)
Membiarkan LGBT berarti menyiapkan diri dan bumi tempat kita berpijak untuk mendapat murka Allah swt.
Ada dua macam tarikan negatif yang mesti kita kendalikan. Pertama Hawa nafsu, kedua syahwat. Selama ini dua hal itu kita anggap sama, padahal tidak. Hawa nafsu itu tarikan yang sifatnya ke arah ego. Sedangkan syahwat itu tarikan yang sifatnya fisik/material. Silakan cek al-Qur’an.
Kata syekh Abdul Qadir al-Jailani, puncak dari mempertuhankan hawa nafsu adalah mempertuhankan diri sendiri, yang tercermin dari ucapan Firaun yang menyatakan dirinya Rabb (tuhan pemelihara). Sedang puncak dari pemujaan terhadap syahwat adalah homoseksual, sebagaimana yang pernah menjangkiti kaum Nabi Luth as. secara komunal.
Kenapa kita mesti concern tentang LGBT. Karena kalau kita lihat di dalam al-Quran, hukuman bagi para pemuja hawa nafsu itu berbeda dengan hukuman bagi pemuja syahwat.
Pemuja hawa nafsu seperti Firaun, yang dihancurkan itu cuma Firaun dan tentaranya saja. Kota mesirnya masih tetap ada. Sedang pemuja syahwat itu dihancurkan sampai ke bumi tempat mereka berpijak. TOTAL! Artinya kucing dan tikus liar yang numpang makan di situ ikut terkena bencana.
Dan itu bukan hanya kejadian di kota Sodom. Kita lihat pola yang sama di Pompeii, lalu di sebuah dusun kecil, Lagetang. Semuanya polanya sama. Pemujaan terhadap syahwat -> melampaui batas sampai muncul perilaku homosex -> nunggu bencana. Bahkan itu juga yang terjadi menjelang Kiamat. Dalam hadits, digambarkan manusia hilang malunya sehingga biasa untuk ngeseks di pinggir jalan.
Jadi menurut yang saya pahami, perilaku homosex tidak boleh dibiarkan begitu saja. Harus kita cegah. Tentunya bukan dengan memusuhi pelaku. Tapi yang kita cegah adalah tersebarnya paham tersebut.
Setidaknya bertindak agar jelas posisi kita. Misalnya tidak beli kopi di Starbucks atau produk-produk lain yang mendukung LGBT atau bila mampu, melakukan counter campaign atau penyadaran bagi para homosex.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip sebuah kisah tentang keberpihakan. Di saat Nabi Ibrahim dibakar raja Namrodz, seekor semut membawa setetes air. Seekor burung kemudian bertanya, "Untuk apa kamu bawa air itu?"
"Ini air untuk memadamkan api yang sedang membakar kekasih Tuhan, Ibrahim as."
"Hahaha... Tak akan guna air yang kamu bawa," kata burung.
"Aku tahu, tetapi dengan ini aku menegaskan di pihak manakah aku berada." (Dan aku akan bisa menjawab pertanyaan Allah kelak, bahwa aku telah berbuat semampuku untuk menolong kekasih-Nya). Wallahu a'lam
Los, 13 Februari 2016